Aku bahagia sekali bisa merasakan senyumnya dari sejengkal jarak duduk. Benar-benar kebahagiaan yang susah untuk dilupakan dalam ingatan. Dan sebelum aku melontarkan pertanyaan, ia telah menghembuskan hujanya lebih dulu.
" Kenapa wajahmu selalu merah ketika melihatku ? "
" Aku suka senyummu "
" Ada apa dengan senyumku? "
" Entah, senyummu selalu membekas ketika angin mengantarkanmu pulang dan juga waktu yang selalu mengganggu dalam pertemuan "
" Kamu aneh "
Kita berpisah dari tempat duduk itu ketika waktu lebih unggul dengan kuasanya lagi. Aku masih memikirkan dengan pernyataan perempuan itu yang menyebutku aneh, apa mungkin kata-kataku salah untuk menilai senyumnya. Halah! Senyum itu jadi berselisih dengan pikiranku, seolah-olah manisnya semakin hampa untuk dirasakan.
Hal yang tidak di inginkanpun terjadi. Setelah aku selesai dengan giatku, aku melihat senyumnya. Tetapi kali ini aku benar-benar kehilangan manis senyumnya. Ia tidak sendiri menumpaki jok motor yang biasa aku lihat selalu sendiri seperti jok belakang vespaku. Aku tidak yakin itu adalah saudara, atau adiknya. Karena mereka terlalu mesra bercengkrama di atas motornya, dan senyumnya terlalu merona tanpa jeda di setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Sepertinya aku memang harus melanjutkan persinggahan, dan memang benar. Aku hanyalah tokoh bayangan yang masuk lalu pergi di dalam alur-alur cerita, aku belum terlalu mampu untuk jadi pengembara  yang baik sebab peristiwa yang dibuatnya kini tidak bisa ku tepiskan hingga langkahku memilih diam untuk kembali kepada rasa yang tunggal, dan apabila nasib manusia bisa terlihat dari kerut bibirnya yang tersenyum, mungkin aku bisa meramalkan bahwa perempuan itu sudah berpasangan.
Mungkin ini adalah saatnya aku memulai jujur dengan diriku sendiri, bahwa pengembaraan itu hanyalah pelarian dan alasan bahwa kami tak sebanding untuk berperasaan. Aku tidak dapat membayangkan ketika aku membuatnya tertawa gembira demi ingin melihat senyumnya merekah dengan taburan lesung manis, demi mendengar isak tawanya yang terdengar merdu ketika ia latunkan bersama senyumnya. Ah betapa aku lebih keji dari lelaki yang memboncengnya itu dan membuat ia tersenyum tanpa hening yang mengganggunya.
Cirebon, 12 September 2019
Rafly Febriansyah