Mohon tunggu...
Rafli Rachman Satrio
Rafli Rachman Satrio Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi Perpajakan

saya ingin belajar mengenai perpajakan lebih dalam lagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kepatuhan Pajak Tidak Bisa Dipaksa, Harus Diciptakan

4 Mei 2025   20:52 Diperbarui: 4 Mei 2025   20:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam sistem perpajakan modern, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah kunci. Namun, hingga hari ini, pendekatan terhadap kepatuhan di Indonesia masih cenderung bertumpu pada paksaan dan sanksi. Bukannya memperkuat rasa tanggung jawab fiskal masyarakat, pendekatan ini justru sering menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan.

Pertanyaannya: apakah pajak hanya bisa dikumpulkan dengan ancaman denda, pemeriksaan, atau penyanderaan?

Tentu jawabannya tidak. Negara-negara dengan rasio pajak tinggi bukanlah negara yang paling keras menindak wajib pajak, melainkan negara yang berhasil menciptakan budaya pajak yang sehat.

Masalah Kita Bukan Kurang Regulasi, Tapi Kurang Kepercayaan

Indonesia memiliki sistem perpajakan yang cukup lengkap. Undang-Undangnya jelas, tarifnya relatif moderat, dan otoritas pajaknya terus mengalami modernisasi. Tapi kepatuhan masih rendah. Artinya, masalah utama bukan pada regulasi, tetapi pada relasi antara negara dan masyarakat.

Wajib pajak kecil sering merasa diperlakukan tidak adil, sementara mereka melihat celah hukum dimanfaatkan oleh kelompok besar untuk menghindari pajak. Mereka juga menyaksikan pemberitaan tentang oknum aparat pajak yang terlibat dalam skandal, sementara mereka sendiri diminta jujur dan patuh.

Dalam situasi seperti ini, kepatuhan tidak mungkin hadir secara alamiah. Ia harus diciptakan dengan cara membangun trust (kepercayaan) antara fiskus dan wajib pajak.

Apa yang Harus Dilakukan?

  1. Transparansi dan Akuntabilitas Negara

    • Masyarakat perlu tahu ke mana uang pajak mereka digunakan. Setiap rupiah yang dibayarkan harus bisa ditelusuri hasilnya: apakah menjadi jalan, sekolah, atau subsidi.

  2. Pelayanan Pajak yang Humanis dan Solutif

    • Pegawai pajak bukan hanya penagih, tapi juga fasilitator. Membantu wajib pajak patuh jauh lebih efektif daripada sekadar mengawasi dan menghukum.

  3. Edukasi Pajak Sejak Dini

    • Budaya pajak dibentuk, bukan diwariskan. Jika sejak sekolah anak-anak sudah mengenal konsep pajak dan kegunaannya, maka generasi baru akan tumbuh lebih sadar fiskal.

  4. Penegakan Hukum yang Adil

    • Tidak boleh ada kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah. Wajib pajak besar harus menjadi contoh kepatuhan, bukan sumber akal-akalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun