Dalam sistem perpajakan modern, kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah kunci. Namun, hingga hari ini, pendekatan terhadap kepatuhan di Indonesia masih cenderung bertumpu pada paksaan dan sanksi. Bukannya memperkuat rasa tanggung jawab fiskal masyarakat, pendekatan ini justru sering menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan.
Pertanyaannya: apakah pajak hanya bisa dikumpulkan dengan ancaman denda, pemeriksaan, atau penyanderaan?
Tentu jawabannya tidak. Negara-negara dengan rasio pajak tinggi bukanlah negara yang paling keras menindak wajib pajak, melainkan negara yang berhasil menciptakan budaya pajak yang sehat.
Masalah Kita Bukan Kurang Regulasi, Tapi Kurang Kepercayaan
Indonesia memiliki sistem perpajakan yang cukup lengkap. Undang-Undangnya jelas, tarifnya relatif moderat, dan otoritas pajaknya terus mengalami modernisasi. Tapi kepatuhan masih rendah. Artinya, masalah utama bukan pada regulasi, tetapi pada relasi antara negara dan masyarakat.
Wajib pajak kecil sering merasa diperlakukan tidak adil, sementara mereka melihat celah hukum dimanfaatkan oleh kelompok besar untuk menghindari pajak. Mereka juga menyaksikan pemberitaan tentang oknum aparat pajak yang terlibat dalam skandal, sementara mereka sendiri diminta jujur dan patuh.
Dalam situasi seperti ini, kepatuhan tidak mungkin hadir secara alamiah. Ia harus diciptakan dengan cara membangun trust (kepercayaan) antara fiskus dan wajib pajak.
Apa yang Harus Dilakukan?
Transparansi dan Akuntabilitas Negara
Masyarakat perlu tahu ke mana uang pajak mereka digunakan. Setiap rupiah yang dibayarkan harus bisa ditelusuri hasilnya: apakah menjadi jalan, sekolah, atau subsidi.
Pelayanan Pajak yang Humanis dan Solutif