Mohon tunggu...
Rafi Surya Akbar
Rafi Surya Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa

hobi Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kajian Hadis Tematik-Konseptual: Mata Uang Digital atau Cryptocurrency

19 Juni 2025   22:13 Diperbarui: 19 Juni 2025   22:13 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari hasil analisis hadist tersebut, kajian ini mengelompokkan hukum penggunaan cryptocurrency dalam empat kategori berdasarkan fungsinya serta relevansinya dengan prinsip-prinsip syariah; 

Pertama, apabila cryptocurrency diperlakukan sebagai mata uang resmi yang menggantikan fungsi uang fiat dalam transaksi sehari-hari, maka status hukumnya dinilai haram. Penetapan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan, antara lain potensi besar terhadap praktik gharar (ketidakjelasan), dharar (kerugian sistemik), dan qimar (spekulasi berlebihan). Selain itu, cryptocurrency belum diakui sebagai alat pembayaran yang sah secara hukum positif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia No. 17 Tahun 2015. Karena itu, penggunaannya sebagai alat transaksi dianggap tidak sah baik dari sisi legalitas negara maupun dari sisi maqashid syariah. 

Kedua, dalam konteks cryptocurrency sebagai komoditas atau aset digital tanpa underlying asset yang jelas (seperti aset riil atau nilai intrinsik yang stabil) status hukumnya juga ditetapkan sebagai haram. Hal ini disebabkan karena tidak terpenuhinya unsur-unsur validitas barang dagangan (sil'ah) dalam Islam, seperti keberadaan bentuk fisik yang nyata, kepemilikan yang jelas, dan kemampuan untuk dilakukan serah terima. Aset jenis ini sering kali digunakan dalam skema perdagangan spekulatif yang sangat rentan terhadap manipulasi harga dan penipuan, sehingga berisiko menimbulkan kerugian besar bagi para pelaku transaksi. 

Ketiga, apabila cryptocurrency difungsikan sebagai aset digital yang tidak dimaksudkan sebagai mata uang, melainkan digunakan dalam kerangka sistem transaksi peer-to-peer (antar pengguna secara langsung), maka status hukumnya dapat dianggap halal, meskipun terbatas pada fungsinya sebagai komoditas. Dalam konteks ini, cryptocurrency diperlakukan sebagai alat tukar dalam ruang digital yang bersifat terbuka dan transparan. Selama transaksi dilakukan secara sukarela, tidak mengandung unsur penipuan atau gharar berlebihan, serta terdapat mekanisme pengawasan terhadap spekulasi ekstrem, maka penggunaannya dapat dibenarkan secara syariah. Meskipun demikian, dibutuhkan regulasi dan tata kelola yang baik agar penggunaan cryptocurrency tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. 

Keempat, terdapat pendekatan yang lebih moderat yang memandang cryptocurrency sebagai bentuk harta atau mata uang digital yang memiliki legalitas fungsional berdasarkan sistem teknologi dan konsensus sosial yang mendasarinya. Dalam kategori ini, status hukumnya dinilai halal namun bersifat kontroversial, karena menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan otoritas keuangan syariah. Cryptocurrency dalam hal ini dinilai memiliki fungsi transaksi yang sah secara teknis melalui sistem desentralisasi dan blockchain. Selama penggunaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti menghindari riba, gharar, dan tadlis, serta disertai dengan regulasi yang ketat dari lembaga berwenang, maka penggunaan cryptocurrency dapat diterima secara terbatas. 

Kajian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip hadist tetap relevan dan aplikatif dalam menilai fenomena modern seperti cryptocurrency. Hadist-hadist tentang larangan gharar, riba, dan penipuan serta anjuran transparansi dan keadilan dalam jual beli memberikan kerangka etis dan hukum yang kuat dalam memahami mata uang digital ini. Implikasinya, umat Islam perlu memiliki pengetahuan yang cukup sebelum menggunakan atau berinvestasi dalam cryptocurrency agar tidak terjerumus ke dalam transaksi yang bertentangan dengan syariat.    

Penutup  

Cryptocurrency sebagai fenomena baru dalam dunia keuangan telah memunculkan berbagai perdebatan hukum di kalangan ulama dan pakar keuangan Islam. Kajian tematik-konseptual hadis dalam artikel ini menunjukkan bahwa meskipun tidak ada nash eksplisit yang membahas mata uang digital, namun prinsip-prinsip syariat yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi tetap relevan untuk dijadikan landasan dalam menilai keabsahan dan kebermanfaatan cryptocurrency. 

Hadis-hadis tentang larangan gharar, riba, penipuan, dan anjuran terhadap kejelasan dan keadilan dalam transaksi ekonomi menjadi rujukan penting dalam membingkai sikap Islam terhadap fenomena ini. Oleh karena itu, pendekatan ijtihad kontemporer yang mempertimbangkan maqashid syariah sangat dibutuhkan dalam merumuskan hukum cryptocurrency agar tetap selaras dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan responsif terhadap perubahan zaman. 

  

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun