Digitalisasi telah membuka ruang baru untuk melaksanakan supervisi yang lebih fleksibel. Platform seperti Google Meet, Zoom, atau Learning Management System (LMS) memungkinkan supervisi dilakukan jarak jauh, bahkan real-time. Refleksi guru dapat dikumpulkan lewat formulir daring, dan diskusi bisa dilakukan asinkronus sesuai waktu luang guru.
Namun, supervisi digital bukan tanpa tantangan. Ia tetap membutuhkan sentuhan manusiawi. Supervisi harus tetap membumi: mendengar, menyimak, dan merespons dengan empati.
Supervisi yang Menghidupkan Sekolah
Banyak sekolah yang hebat bukan karena fasilitasnya lengkap, tetapi karena budaya supervisinya kuat. Kepala sekolah yang aktif turun ke kelas, guru yang terbiasa berdiskusi terbuka tentang praktik mengajar, serta adanya tindak lanjut nyata dari hasil supervisi semua itu membentuk ekosistem pendidikan yang sehat.
Sebuah studi dari Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan (2023) menunjukkan bahwa sekolah dengan frekuensi supervisi tinggi dan berkualitas mengalami peningkatan signifikan dalam hasil belajar siswa. Artinya, supervisi bukan pekerjaan tambahan. Ia adalah jantung manajemen mutu di sekolah.
Penutup: Kita Butuh Supervisi yang Bernyawa
Supervisi pendidikan tidak boleh lagi sekadar prosedur rutin. Ia harus menjadi proses yang bernyawa membangkitkan semangat, menggerakkan perubahan, dan menghidupkan kembali komitmen bersama untuk pendidikan yang lebih baik.
Di tengah derasnya tuntutan kurikulum, asesmen, dan teknologi, guru butuh didampingi, bukan dihakimi. Dan di sanalah letak pentingnya supervisi: sebagai jembatan antara idealisme dan praktik, antara kebijakan dan kenyataan.
Jika kita ingin pendidikan Indonesia benar-benar maju, mulailah dengan memperkuat supervisinya. Bukan sekadar prosedur, tapi nafas perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI