Mohon tunggu...
Rafika Sihotang
Rafika Sihotang Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka pengalaman baru yang membuka persepsi baru

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Self-Love atau Egois? Memahami Diri Sendiri Lewat Kaca Psikologi

31 Mei 2025   19:22 Diperbarui: 31 Mei 2025   22:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini, konsep mencintai diri sendiri atau self-love menjadi sangat terkenal, khususnya di platform media sosial. Banyak individu yang berbagi kutipan inspiratif, ajakan untuk mencintai diri mereka, serta saran untuk merawat diri sebagai bentuk dari self-love. Namun di sisi kain, ada juga yang berpendapat yang negatif yang menganggap bahwa self-love hanyalah alasan untuk bersikap egois, tidak peka terhadap orang lain, bahkan malas. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah mencintai diri sendiri itu benar-benar penting, atau hanya alasan untuk hidup dengan sembarangan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat sejenak pemikiran Abraham Maslow, seorang psikolog dari Amerika Serikat yang terkenal dengan teori tingkatan kebutuhan. Menurut teorinya, Maslow mejelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang berstrata, dimulai dari yang fundamental seperti makan, istirahat, hingga yang paling tinggi yaitu "aktualisasi diri" menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Nah, cinta diri sendiri sangat berkaitan dengan kebutuhan yang lebih mendalam, seperti rasa aman, penghargaan diri, dan pencapaian potensi. Menurut Maslow, seseorang tidak dapat tumbuh atau berkembang sepenuhnya jika kebutuhan dasar mereka masih belum terpenuhi. Contohnya, bagaimana mungkin seseorang bisa menolong orang lain jika dirinya masih merasa lapar, kelelahan, atau merasa tidak pantas?

Mencintai diri sendiri bukanlah tanda dari sifat egois. Sebaliknya, dengan memahami dan menjaga diri, seseorang bisa lebih efektif dalam membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Bayangkan sejenak, jika seseorang selalu mendedikasikan waktu, usaha, dan perasaannya untuk orang lain sambil mengabaikan dirinya sendiri, apakah hal itu bisa berlangsung terus menerus?. Seiring waktu, orang tersebut bisa merasa kehabisan energi emosional dan bahkan ketidakberhargaan.

Cinta pada diri sendiri tidak berarti selalu memenuhi semua keinginan pribadi, ataupun menolak setiap permintaan orang lain. Ini juga bukan sebagai alasan untuk mengabaikan tanggung jawab. Sebenarnya, cinta diri yang sehat menunjukkan bahwa kita dapat menilai hal-hal yang bermanfaat yang dapat merugikan bagi kita, mampu mengucapkan "tidak" jika diperlukan, serta bisa berterus terang kepada diri sendiri.

Tanda-tanda cinta diri yang baik antara lain: 

* Dapat beristirahat tanpa rasa bersalah. 

* Memaklumi diri sendiri ketika mengalami kegagalan. 

* Tidak mengukur diri dengan orang lain. 

* Menetapkan batas hubungan. 

Sementara itu, jika seseorang mulai memakai alasan "aku hanya mencintai diriku sendiri" untuk terus melukai atau memanfaatkan orang lain, maka itu bukan lagi cinta diri, tetapi bisa jadi merupakan salah satu bentuk egoisme yang tersembunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun