John Galtung mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan Kontradiksi (Contradiction =C), Sikap (Attitude = A), Perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya (Galtung, 1990).
Kontradiksi merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh “ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial”.
Dalam kasus diatas menunjukan bahwa kontradiksi yang terjadi antara kamboja dan thailand yakni terdapat perbedaan pemahaman terkait hasil dari keputusan mahkamah internasional dan ketidakadilan yang dirasakan oleh Thailand terhadap traktat hasil perjanjian antara kedua belah pihak.
Sikap adalah persepsi pihak-pihak yang berkonflik dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, dan merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain.
Jika menarik kesimpulan yang terjadi pada kasus diatas maka dapat dilihat bahwa sejalan dengan kontradiksi yang terjadi antara kamboja dan thailand akibat dari adanya perbedaan pemahaman dan politik domestik merupakan pembentuk sikap antara kedua belah pihak.
Sikap yang diambil oleh Thailand cenderung stereotip terhadap kamboja dan sebaliknya. Akibat dari sikap yang diambil oleh kedua belah pihak menyebabkan adanya korban dalam perang atas klaim candi tersebut.
Perilaku yang merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak.
Jelas bahwa perilaku dari kedua negara pada kasus diatas menunjukkan pertentangan yang menyebabkan konflik semakin tidak terelakkan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari skema model analisis segitiga galtung oleh John Galtung memaparkan bahwa konflik yang hebat dapat terjadi bila adanya pertentangan antara ABC yakni Attitude, Sikap, Perilaku. Konflik yang terjadi antara kamboja dan thailand dapat menjadi bukti bahwa ketidakcocokan dapat menyebabkan konflik yang hebat.
Prosedur pernyelesaian sengketa pertama yang adalah dengan dilakukannya perundingan bilateral antara negara Kamboja dan Thailand. Negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak apabila tidak kunjung membuahkan hasil yang baik pada proses guna mengakhiri perseteruan perbatasan kuil Preah Vihear, Maka diperlukannya proses penyelesaian yang dimana mulai melibatkan pihak ketiga.
Melalui putusan berasal PBB yang menyatakan bahwa kedua negara wajib mengikuti proses penyelesaian melalui ASEAN maka perintah tadi harus ditaati kedua Negara tersebut.
Pada konkurensi yang hanya melibatkan Negara anggota ASEAN, Pihak bersengketa mampu meminta koordinator ASEAN atau Sekretaris Jenderal ASEAN menjadi pihak ketiga untuk menyediakan tempat mediasi yang dilakukan dengan cara damai (Chandra, 2016).