Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Mahasiswa, Peternak, Pengamat sepak bola, dan Pebisnis.

Seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam. Menerima jasa konsultasi kuliah bagi mahasiswa. Memiliki peternakan Ayam Hias, Ayam Pelung dan Beberapa jenis burung (Perkutut, Derkuku dan Kicau). Menerima ajakan Bal-balan dan diskusi mengenai sepak bola. Menerima pesanan bibit pohon dan bonsai (by request). Menerima dan tidak akan menolak ajakan masuk Surga. Informasi lebih lanjut hubungi 0821-1939-4586 (WA), raffimfrq (Instagram). Raffi Muhamad Faruq (Facebook dan X/Twitter), raffimfrq@gmail.com, hobbypelunggarut@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pujian: Racun yang Manis, atau Harapan yang Tertulis?

9 Juli 2025   19:08 Diperbarui: 15 Juli 2025   14:30 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: iStock

Oleh: Raffi Muhamad Faruq

"Namanya pujian, pujian itu racun." Kalimat itu terpatri kuat dalam ingatan saya, karena hampir selalu muncul dari mulut ayah setiap kali saya datang dengan cerita prestasi---dari nilai bagus, ucapan bangga dari guru, hingga pengakuan teman. Dulu, saya sering kesal. Mengapa ayah saya tidak seperti kebanyakan orang tua yang langsung memeluk dan menyemangati anaknya saat dipuji orang lain? Mengapa responsnya justru dingin dan bahkan terdengar sinis? Namun kini, seiring usia bertambah dan pengalaman bertumpuk, saya mulai mengerti: bisa jadi, ayah saya benar.

Pujian memang sesuatu yang nyaris tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Kita lahir di tengah masyarakat yang suka menilai dan menakar. Di Kampus, ada ungkapan"cumlaude" dan predikat "dengan pujian"; di tempat kerja, ada penghargaan "karyawan teladan"; di media sosial, ada "likes" dan komentar manis yang memberi dopamine instan. Pujian menjadi semacam mata uang sosial---ia bisa mengangkat semangat, tapi juga diam-diam menyusup ke dalam ego.

Saya mengalaminya sendiri. Sejak SD hingga kuliah, pujian sudah jadi bagian dari hidup saya. Nilai bagus, aktif di kelas, ikut lomba, dan dikenal guru sebagai siswa berprestasi. Pujian-pujian itu datang dari berbagai arah: teman, guru, bahkan orang-orang yang tak saya kenal dekat. Awalnya, pujian membuat saya semangat. Tapi lama-lama saya merasa aneh: mengapa saya jadi merasa cemas saat tidak ada yang memuji? Mengapa saya merasa hampa saat tak mendapat pengakuan? Di titik itulah saya merasa, ada yang salah jika pujian menjadi candu.

Para filsuf sudah lama mengingatkan kita soal jebakan pujian. Seneca, filsuf Stoik dari Romawi, pernah berkata bahwa "pujian adalah sesuatu yang menyesatkan jika dijadikan tujuan." Bagi para Stoik, kebahagiaan sejati berasal dari diri sendiri, bukan dari penilaian orang lain. Sedangkan Friedrich Nietzsche, yang kerap blak-blakan, menyebut bahwa pujian bisa menjadi alat manipulasi sosial---mereka yang memuji kita bisa jadi sedang menjinakkan kita. Artinya, pujian bukan sekadar ekspresi apresiatif, tapi juga bisa menjadi jebakan halus yang mengarahkan kita untuk terus menyenangkan orang lain, bukan menjadi diri sendiri.

Namun di sisi lain, pujian juga bukan sesuatu yang harus dibuang atau ditolak mentah-mentah. Kita manusia tetap butuh validasi sosial. Menurut psikolog Abraham Maslow, kebutuhan akan penghargaan (esteem) adalah salah satu tingkatan penting dalam piramida kebutuhan manusia. Pengakuan dan apresiasi dapat mendorong seseorang untuk bertumbuh dan mencapai aktualisasi diri. Artinya, pujian bisa menjadi bahan bakar yang sehat, asalkan tidak dijadikan satu-satunya alasan untuk bergerak.

Kembali ke ayah saya. Ia bukan filsuf, bukan psikolog. Tapi mungkin pengalamannya sebagai manusia yang kenyang hidup, membuatnya lebih waspada pada efek pujian yang berlebihan. Ia melihat betapa banyak orang yang tumbuh besar bersama pujian, tapi rapuh saat kritik datang. Ia menyaksikan orang-orang yang tadinya tekun dan rendah hati, berubah sombong hanya karena sering dipuji. Dalam diamnya, ayah saya sebenarnya sedang mengingatkan: jangan hidup hanya demi pengakuan orang lain. Jangan menari di atas panggung hanya karena tepuk tangan.

Bagi saya hari ini, pujian adalah bagian dari hidup yang perlu dikelola. Diterima dengan senyum, disyukuri secukupnya, tapi jangan dijadikan arah kompas. Kita boleh senang dipuji, tapi jangan hidup karena pujian. Kita boleh menganggapnya hadiah, tapi jangan sampai menjadikannya identitas. Karena begitu kita menggantungkan semangat pada pujian, kita akan kehilangan kendali atas motivasi internal kita sendiri. Bahkan, saat tidak ada yang melihat atau memuji, kita harus tetap mampu berjalan dan melangkah.

Maka, saya kira pujian bukan semata racun. Ia seperti gula: dalam takaran yang pas, bisa membuat hidup manis. Tapi dalam dosis berlebihan, bisa membuat kita sakit dan lambat. Bijak terhadap pujian adalah kemampuan untuk membedakan antara penghargaan dan ketergantungan. Dan itu adalah pelajaran yang tak saya dapatkan dari buku, melainkan dari satu kalimat sederhana ayah saya---yang dulu saya anggap menyakitkan, tapi sekarang saya pahami sebagai bentuk cinta yang tak biasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun