Oleh: Raffi Muhamad Faruq
Joko Widodo bukan orator. Ia bukan politikus flamboyan yang suka retorika atau debat terbuka. Ia tidak mengutip filsuf, tidak menggebu-gebu di podium, dan tidak menjadikan kamera sebagai panggung pribadi. Tapi bukan berarti ia pasif. Justru sebaliknya---dalam diamnya, banyak cara ia tempuh. Dari Istana yang tenang, lahir keputusan-keputusan besar yang mengubah arah negara. Namun di balik ketenangan itu, muncul pertanyaan penting: seberapa sehat gaya kepemimpinan yang lebih banyak berdiam, tapi penuh kuasa?
Dalam dunia politik yang sering bising dan penuh drama, Jokowi adalah anomali. Ia bekerja dalam senyap, menyelesaikan satu proyek ke proyek lain, membentuk koalisi besar tanpa banyak gembar-gembor. Banyak yang mengagumi itu. Ia dianggap sebagai pemimpin yang lebih suka bekerja daripada berbicara, lebih suka hasil daripada retorika. Dan memang, dalam banyak hal, Indonesia butuh pemimpin yang tak terlalu banyak basa-basi.
Namun, gaya ini tidak datang tanpa risiko. Ketika seorang pemimpin terlalu hemat bicara, publik bisa kehilangan arah. Ketika suara Presiden lebih sering berupa senyum dan gestur ringan, tapi tak menjelaskan arah kebijakan secara terbuka, rakyat mulai bertanya: kita sedang dibawa ke mana, dan dengan siapa?
Demokrasi bukan sekadar tentang siapa yang menang pemilu. Demokrasi juga tentang transparansi, tentang komunikasi yang setara antara pemimpin dan yang dipimpin. Di sinilah letak problem utama dari gaya Jokowi yang "tak banyak bicara". Ia membentuk narasi lewat tindakan, bukan lewat percakapan. Ia memimpin dengan cara membungkus niat dalam ketenangan. Tapi dalam proses itu, ruang partisipasi publik bisa terabaikan, dan kepercayaan perlahan bisa tergerus.
Gaya diam Jokowi juga menciptakan jarak. Ia sering tampil seolah "rakyat biasa", sederhana dan membumi. Tapi pada saat yang sama, ia jarang benar-benar hadir dalam diskusi publik yang substansial. Alih-alih menjelaskan secara utuh kebijakan yang kontroversial, Jokowi lebih sering membiarkan anak buahnya yang bicara, atau membiarkan waktu yang menjawab. Ini mungkin terlihat sebagai ketenangan, tapi bisa juga terbaca sebagai ketidakterbukaan.
Kepemimpinan dalam diam memang terlihat elegan. Tapi terlalu banyak diam bisa jadi berbahaya, terutama ketika itu datang dari posisi kekuasaan tertinggi. Diam bukan lagi bentuk kesabaran, tapi bisa menjadi teknik menghindar dari kritik, bahkan melemahkan fungsi dialog antara rakyat dan negara.
Di sisi lain, gaya ini juga memperlihatkan paradoks. Jokowi sering dianggap sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, tapi justru gaya kepemimpinannya kerap menjauhkan rakyat dari proses. Ketika arah negara ditentukan dalam keheningan, tanpa komunikasi yang jelas, rakyat hanya bisa menebak-nebak. Akibatnya, banyak kebijakan terasa seperti keputusan sepihak, bukan hasil percakapan bersama.
Bukan berarti pemimpin harus cerewet atau selalu tampil di media. Tapi dalam demokrasi, kejelasan komunikasi adalah fondasi. Pemimpin perlu menyatakan arah, menjelaskan pertimbangan, dan membuka ruang dialog. Tanpa itu, ketenangan hanya menjadi kesan, bukan keterlibatan.
Jokowi telah menunjukkan bahwa tidak semua pemimpin perlu bicara keras untuk punya kuasa. Tapi bangsa yang besar tidak hanya butuh hasil, tapi juga proses yang adil dan terbuka. Di masa akhir pemerintahannya, refleksi ini penting: bahwa bekerja dalam diam boleh saja, tapi jangan sampai rakyat tidak lagi merasa diajak bicara.