Di sana ada Ujang. Emak sangat hafal suara pemuda itu, sedikit serak dengan nada suara berat. Dari dinding kayu yang ada di kamarnya, Emak mengetahui mereka sedang  berdebat hebat.
"Aku dak tega jual songket Emak, Bang," Ida berkata dengan suara pelan.
"Itu sikok-sikoknyo caro biar kito pacak kawin, Da."
"Tapi itu kain kesayangan Emak, Bang. Ebak yang ngasih. Aku dak tega." Ada nada ragu di suara Ida.
Mendengar itu, hati perempuan tua itu mencelos seperti teriris sembilu. Suara-suara itu jadi samar di telinganya. Saat itulah, ia mengambil songketnya dari dalam lemari lalu memeluknya. Tangisnya meluber. Di matanya, kenangan berputar liar. Ia masih ingat saat-saat suaminya memberi songket itu. Saat-saat anak pertama yang mereka nantikan selama 15 tahun akhirnya lahir. Saat-saat berat saat suaminya meninggal satu tahun kemudian. Saat-saat ia merawat Ida dengan telaten, memberikan segala yang ia punya agar Ida tumbuh menjadi anak yang sehat dan berbudi pekerti baik.
Kenangan-kenangan itu terus muncul seiring pelukan perempuan tua itu yang semakin erat. Ini adalah caranya melakukan pesta perpisahan dengan kain songket kesayangannya. Kain yang sudah memberinya banyak kisah. Besok, ia akan setuju jika Ida memintanya menjual kain itu. Ia akan setuju bila ia harus merelakannya demi kebahagiaan anak semata wayangnya. Ini adalah pengorbanan terakhirnya. Untuk Ida.
Namun, harapannya musnah. Ida tak pernah meminta. Songket itu raib begitu saja.
Perempuan tua itu memejamkan matanya. Sampai sekarang, butiran air mata masih terus turun di pipinya yang sudah keriput. Tak apa ia kehilangan songketnya, karena ada yang lebih berharga daripada itu. Kejujuran anak semata wayangnya.
Dan ia sudah kehilangan itu. []
***
Palembang, 25 Maret 2015