Mohon tunggu...
Bimo Rafandha
Bimo Rafandha Mohon Tunggu... Programmer, Blogger - Blogger. Storyteller.

Pemintal kata di www.bimorafandha.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Tua yang Menangisi Songketnya

9 Oktober 2018   19:56 Diperbarui: 10 Oktober 2018   16:36 3118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Songket lepus (Ilustrasi: newsberitaterbaru.blogspot.com)

Sudah 3 hari perempuan tua itu menangis. Songket kesayangannya raib dari lemari.

Songket itu sama seperti songket Palembang lainnya. Berjenis songket lepus  dengan motif bunga melati yang tersebar rapi di permukaan kainnya. Meski sudah dimakan usia, warna merah cerah songket itu tidak pudar.

Jika ada yang bertanya mengapa perempuan itu sangat menyayangi songket itu, ia akan menjawabnya dengan mata berbinar-binar. Songket itu adalah pemberian dari suaminya saat melamarnya tempo dulu dan menjadi satu-satunya benda yang ia punya dari almarhum suaminya itu.

Songket itu jugalah yang ia pakai saat menikah. Bahkan, pada masa-masa 15 tahun belum mempunyai anak, ia selalu merawat songket itu bak anaknya sendiri. Hingga saat perempuan tua itu mempunyai Ida---anak satu-satunya, pandangannya tetap tidak berubah.

Tiap 2 minggu sekali, perempuan itu akan menjalankan ritualnya. Ritual dari beberapa puluh tahun lalu yang sampai sekarang masih ia lakukan. Di hari Minggu, ia akan mengeluarkan songketnya dari lemari lalu menaruhnya di teras belakang untuk diangin-anginkan.

Apabila sudah cukup waktunya, kain itu akan ia angkat, kemudian ditaruhnya hati-hati di dipan kayu. Biasanya, setelah itu, jari-jari tangannya akan menekuri tiap motif bunga melati yang ada di permukaan kain dengan lembut, menghitungnya dalam diam seakan motif-motif itu bercerita mengenai jalan hidupnya.

Baginya, songket itu bukan hanya kenangan, tetapi sudah menjadi rutinitas. Bukan hanya sebuah barang, tapi lebih pada penghiburan. Dan, ketika kain itu hilang 3 hari lalu, dunianya seakan runtuh. Sepanjang hari, sepanjang malam, perempuan tua itu menangis tersedu.

***

"Agek aku belike songket yang baru, Mak." Ida, anak perempuan tua itu satu-satunya, membujuk. Ia tak tahan melihat orang yang dipanggilnya dengan sebutan Emak itu tersiksa seperti ini. Sudah 3 hari, Emak hanya makan sedikit. Wajahnya yang keriput pun terlihat semakin tirus.

Emak menggeleng lemah. Matanya sudah mulai membengkak, tapi ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti mengeluarkan air mata.

Ida menghela napas lalu mengembuskannya lagi kuat-kuat. "Aku dak tau nak cakmano lagi, Mak. Lah aku cari ke seluruh rumah, kain itu masih dak ketemu," ujar Ida lagi sambil meletakkan piring berisi makanan untuk Emak.

Perempuan tua itu masih bergeming. Dari ekor matanya, ia menatap lemas lemari kayu yang rapuh dimakan rayap di hadapannya. Lemari tempat hartanya berada.

"Agek aku carike yang samo persis. Tapi, tolonglah, Mak. Jangan kayak ini. Jangan nangis lagi."

"Mak nak kain itulah." Bibir Emak bergetar. Kuncup-kuncup air mata pecah di retina matanya, merembes, dan jatuh perlahan di landai pipinya yang keriput.

Ida tidak tahu harus bagaimana. Ia tahu, Emak begitu setia pada kain itu, merawatnya, seperti merawat kenangan yang ada di setiap motifnya.

"Tau dak? Dulu, Ebak  susah payah belike songket itu buat Mak," kata Emak lagi. "Tiap hari, Emak liat dewek Ebak kerjo banting tulang buat jadike kain itu mahar perkawinan. Tapi sekarang, kain itu lah dak ado lagi."

Mendengar itu, tangis Ida pecah. Ia langsung memeluk Emak dengan sangat erat. Dadanya bergemuruh hebat. Ada badai di sana, campuran dari semua rasa yang bermuara dan menjadikan perasaannya jadi tidak keruan.

Perlahan tapi pasti, air mata Ida ikut turun. Dan, sepanjang malam itu, mereka berdua terisak, dalam kesunyian.

***

Kegelisahan Ida ia ceritakan dengan calon suaminya---Ujang. Di usianya yang ke 30 tahun, Ida baru memutuskan untuk menikah. Pernikahannya sendiri mereka rencanakan bulan depan. Namun, masih terkendala satu hal. Kini, belum lagi mereka ceritakan rencana mereka ke Emak, kejadian ini terjadi.

"Bang, cak mano ini?" Ida bertanya dengan cemas.

Ujang menyesap kopi dari cangkirnya lalu berkata menenangkan, "Dak usah dipikirke dulu."

"Tapi, aku ngeraso bersalah, Bang," ujar Ida lagi. Matanya sibuk menerawang. Terlintas di benaknya saat-saat Emak melakukan aktivitas rutinnya, tawa Emak, serta sikap telaten Emak saat membersihkan songket kesayangannya.

"Dak apo. Dak apo. Pikirke perkawinan kito," Ujang berkata sembari menepuk-nepuk pundak Ida. "Aku pamit balek dulu. Salam buat Emak."

Ujang berjalan keluar dari rumah Emak, meninggalkan Ida yang duduk sendirian dalam bimbang.

Ida melirik kamar Emak di ujung rumah mereka. Pintu kayu itu masih tertutup. Pelan-pelan, ia melangkah menuju ruangan itu. Langkah kaki kecilnya berhenti tepat di depan daun pintu. Tangisan Emak masih terdengar. Lirih sekali bagai lagu paling sedih yang pernah mampir di telinga Ida.

Tak terasa, mata Ida memanas. Titik-titik air di matanya merembes, lalu jatuh perlahan di pipinya.

Dan, dari balik daun pintu, tengkuk Ida meriap. Bulu kuduk di lengannya ikutan berdiri ketika berkata terisak, "Maafke aku, Mak.".

Nyaris tak terdengar.

***

Perempuan tua itu menangis sendiri di kamarnya. Pelupuk matanya masih belum juga mengering. Ini sudah hari ketujuh songketnya menghilang, akan tetapi tanda-tanda itu belum juga datang. Ia memegang dadanya, ada rasa sakit yang masih membekas di sana.

Sesungguhnya, ia menangis bukan karena songketnya hilang. Bukan karena berbagai kenangan yang ada di dalamnya ikut-ikutan hilang. Ia menangis karena merasa kehilangan satu hal yang sangat berarti baginya. Kehilangan satu hal yang ia telah perjuangkan seumur hidupnya.

Delapan hari yang lalu, tepat satu hari sebelum songketnya raib dari pandangan, ia mendengar anaknya bercakap-cakap dengan seseorang pria lanjut usia. Mereka berbincang mengenai songketnya. Tentang harganya.

Di sana ada Ujang. Emak sangat hafal suara pemuda itu, sedikit serak dengan nada suara berat. Dari dinding kayu yang ada di kamarnya, Emak mengetahui mereka sedang  berdebat hebat.

"Aku dak tega jual songket Emak, Bang," Ida berkata dengan suara pelan.

"Itu sikok-sikoknyo caro biar kito pacak kawin, Da."

"Tapi itu kain kesayangan Emak, Bang. Ebak yang ngasih. Aku dak tega." Ada nada ragu di suara Ida.

Mendengar itu, hati perempuan tua itu mencelos seperti teriris sembilu. Suara-suara itu jadi samar di telinganya. Saat itulah, ia mengambil songketnya dari dalam lemari lalu memeluknya. Tangisnya meluber. Di matanya, kenangan berputar liar. Ia masih ingat saat-saat suaminya memberi songket itu. Saat-saat anak pertama yang mereka nantikan selama 15 tahun akhirnya lahir. Saat-saat berat saat suaminya meninggal satu tahun kemudian. Saat-saat ia merawat Ida dengan telaten, memberikan segala yang ia punya agar Ida tumbuh menjadi anak yang sehat dan berbudi pekerti baik.

Kenangan-kenangan itu terus muncul seiring pelukan perempuan tua itu yang semakin erat. Ini adalah caranya melakukan pesta perpisahan dengan kain songket kesayangannya. Kain yang sudah memberinya banyak kisah. Besok, ia akan setuju jika Ida memintanya menjual kain itu. Ia akan setuju bila ia harus merelakannya demi kebahagiaan anak semata wayangnya. Ini adalah pengorbanan terakhirnya. Untuk Ida.

Namun, harapannya musnah. Ida tak pernah meminta. Songket itu raib begitu saja.

Perempuan tua itu memejamkan matanya. Sampai sekarang, butiran air mata masih terus turun di pipinya yang sudah keriput. Tak apa ia kehilangan songketnya, karena ada yang lebih berharga daripada itu. Kejujuran anak semata wayangnya.

Dan ia sudah kehilangan itu. []

***

Palembang, 25 Maret 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun