Perempuan tua itu masih bergeming. Dari ekor matanya, ia menatap lemas lemari kayu yang rapuh dimakan rayap di hadapannya. Lemari tempat hartanya berada.
"Agek aku carike yang samo persis. Tapi, tolonglah, Mak. Jangan kayak ini. Jangan nangis lagi."
"Mak nak kain itulah." Bibir Emak bergetar. Kuncup-kuncup air mata pecah di retina matanya, merembes, dan jatuh perlahan di landai pipinya yang keriput.
Ida tidak tahu harus bagaimana. Ia tahu, Emak begitu setia pada kain itu, merawatnya, seperti merawat kenangan yang ada di setiap motifnya.
"Tau dak? Dulu, Ebak  susah payah belike songket itu buat Mak," kata Emak lagi. "Tiap hari, Emak liat dewek Ebak kerjo banting tulang buat jadike kain itu mahar perkawinan. Tapi sekarang, kain itu lah dak ado lagi."
Mendengar itu, tangis Ida pecah. Ia langsung memeluk Emak dengan sangat erat. Dadanya bergemuruh hebat. Ada badai di sana, campuran dari semua rasa yang bermuara dan menjadikan perasaannya jadi tidak keruan.
Perlahan tapi pasti, air mata Ida ikut turun. Dan, sepanjang malam itu, mereka berdua terisak, dalam kesunyian.
***
Kegelisahan Ida ia ceritakan dengan calon suaminya---Ujang. Di usianya yang ke 30 tahun, Ida baru memutuskan untuk menikah. Pernikahannya sendiri mereka rencanakan bulan depan. Namun, masih terkendala satu hal. Kini, belum lagi mereka ceritakan rencana mereka ke Emak, kejadian ini terjadi.
"Bang, cak mano ini?" Ida bertanya dengan cemas.
Ujang menyesap kopi dari cangkirnya lalu berkata menenangkan, "Dak usah dipikirke dulu."