Mohon tunggu...
Raditya Ade Putra
Raditya Ade Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

A writer wannabe, a college student, and a teacher finna be.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pantang Minta-Minta Walau Sudah Lanjut Usia

28 Oktober 2022   14:30 Diperbarui: 28 Oktober 2022   14:43 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Anda mulai lelah menghadapi hiruk-pikuk kehidupan, maka cobalah untuk keluar rumah. Berkelilinglah ke penjuru kota dan perhatikan sekitar. Pemandangan buruk akan gelapnya zaman, krisis sosial, dan bencana alam. Di kota saya tinggal, Surabaya, seringkali saya menemukan orang sedang mengais makanan di tempat sampah, pengamen jalanan, penjaja koran dari yang tua hingga anak-anak belia, pengemis yang terpaksa meminta maupun yang malas bekerja, bahkan lansia yang dipaksa anaknya untuk bekerja di tengah teriknya sang surya hingga dinginnya angin purnama.

"Habis gelap, terbitlah terang," ucap R.A. Kartini. Beberapa tahun terakhir, seperti yang saya katakan sebelumnya, keadaan makin gelap. Dimulai dari bencana pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina yang memperburuk situasi pasca pandemi, membuat harga bahan pokok dan bahan bakar meningkat, dilanjut dengan inflasi hingga kebangkrutan di beberapa negara seperti Turki, Pakistan, Lebanon, Sri Lanka, dan berakhir dengan resesi global. Ditambah lagi dengan kelakuan para homo sapiens yang makin beragam penyimpangannya dan politikus-politikus Australia Utara alias Indonesia tercinta yang sibuk memasang baliho tidak enak dipandang mata di sepanjang tanah air untuk kampanye pemilu 2024, di tahun 2022, seolah-olah buta dengan keadaan dunia yang sedang dilanda malapetaka. Saat itu juga saya bergumam, "Jika hujan terus menerus tanpa ada henti menyebabkan banjir tinggi, maka fase kegelapan ini seharusnya telah selesai, bukan? Lantas, kapan terang yang Kartini maksud akan tiba, Tuhan?"

Di suatu malam, saya memutuskan berkeliling menggunakan motor untuk memutus rantai kesuntukan. Tidak lama berselang, tampak sekilas seseorang yang tak asing di pinggir jalan, tengah duduk di atas becak. Saat saya dekati ternyata tetangga kampung sebelah saya, sebut saja Pak M. Beliau adalah veteran tukang becak sejak tahun 90-an sampai sekarang yang menghidupi 5 kepala dan merangkap jabatan sebagai pemulung untuk melanjutkan hidup. Beliau hidup bersama istri, 3 orang anak, dan 1 cucu di satu rumah yang sungguh sederhana. Dari sini mungkin masih tampak normal karena kehadiran 3 orang anak seharusnya sudah cukup membantu memutar roda perekonomian keluarga Pak M, namun nyatanya tidak. Anak sulung beliau merupakan seorang pengangguran dan anak bungsu beliau tengah menjalani proses hukum, hanya istri dan anak-tengah-perempuan beliau yang konsisten menutupi rasa lapar. Tapi jangan salah, latar belakang keluarga Pak M yang cukup memprihatinkan tidak memupuskan semangat keluarga Pak M untuk tetap berusaha mengubah nasib. 

Kita semua tahu bahwa di era digital ini, kendaraan seperti becak dan taksi konvensional sudah mulai tak laku. Sebagian dari mereka tetap menjalankan profesinya, menunggu pelanggan di pangkalan. Sebagian dari mereka mungkin mulai beradaptasi, mengganti profesi mereka demi gaji yang lebih berarti. Sedangkan Pak M sendiri menjalankan keduanya. Pak M merupakan salah satu figur dari orang kecil yang sifatnya patut dicontoh orang-orang besar. Pak M memiliki sifat yang sukar disandang masyarakat zaman sekarang, yakni sifat resilient, tidak sedikit-sedikit mengeluh dan menyalahkan keadaan. Dengan pendapatan sekitar Rp 150.000-200.000/3 hari dari mengumpulkan rongsokan ditambah penghasilan dari anak kedua, beliau merasa cukup.

Pak M sangat menjunjung tinggi prinsip "Selagi masih lengkap tangan dan kaki untuk bekerja, kenapa harus minta-minta?" 

Saya sempat bertanya tentang kehidupan bertetangga beliau, apakah ada atau sering orang-orang mengirim bantuan ke rumah Pak M. "Jarang, mas," jawabnya. "Meskipun kita miskin, bagaimana caranya-lah jangan sampai minta-minta. Di samping itu (bekerja) tengah malam kita tidak putus berdoa, bagaimana caranya kita ini bisa dicukupkan untuk makan." Pernyataan beliau ini menarik sekaligus miris karena justru orang luar yang beliau temui di jalan lebih sering memberikan bantuan ketimbang tetangganya sendiri. Bagaimana bisa seseorang hidup nyaman sementara tetangga sebelah rumah kesusahan untuk makan? Memang, keluarga Pak M tidak bergantung pada pemberian orang lain, namun bukan berarti mereka tidak membutuhkannya. Seperti kondisi Pak M, kita tidak akan tahu jika bantuan yang diberikan ternyata membantu beliau menabung untuk membeli motor bekas, atau mengubah becaknya menjadi bentor (becak motor) agar tidak perlu mengayuh lagi, atau setidaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ketika kebanyakan manusia memilih untuk mengeluh, mencela nasib, bahkan menyerah, maka Pak M dengan segala kekurangannya merupakan salah satu dari orang-orang yang berani bersimbah darah mengubah nasib, demi masa depan anak-cucunya yang lebih cerah. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun