Mohon tunggu...
Ganesha AfnanAdipradana
Ganesha AfnanAdipradana Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Hobi membaca dan mencoba belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangankan Mau Kaya, Cari Kerja aja Susahnya Minta Ampun

3 Maret 2024   14:11 Diperbarui: 3 Maret 2024   14:13 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengangguran yang akan bekerja apa pun demi sesuap nasi. Sumber Ilustrasi : Pexels.com/Mart-Production

Di tengah gempuran isu ekonomi global yang tak kunjung reda,nasib kelas menengah di Indonesia kini seperti berjalan di atas tali. Kata orang, zaman sekarang, jangankan untuk kaya, untuk mencari pekerjaan yang layak saja sudah bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ironis memang, di era digital yang seharusnya membuka lebar peluang, banyak dari kita malah terjebak dalam lingkaran setan pengangguran yang semakin sulit ditembus.

Media sosial dipenuhi dengan cerita-cerita pilu para pencari kerja. Mulai dari lulusan baru yang enerjik hingga mereka yang berpengalaman, semuanya berjuang keras dalam perburuan yang sama: pekerjaan yang layak. Kisah mereka mengingatkan kita pada sebuah skenario yang tampaknya sudah terlalu familiar: mengirim lusinan lamaran kerja tanpa mendapat satu pun balasan, atau, jika beruntung, diundang interview hanya untuk mengetahui bahwa posisi telah diisi.

Mungkin, bagi sebagian orang, kondisi ini adalah refleksi dari ketidakseimbangan antara jumlah pekerjaan yang tersedia dengan jumlah pencari kerja. Namun, jika kita menelaah lebih dalam, akar permasalahan ini lebih kompleks. Transformasi digital yang pesat, misalnya, telah mengubah landskap pekerjaan secara drastis. Banyak pekerjaan yang dulu dianggap stabil, kini tergantikan oleh otomatisasi dan kecerdasan buatan.

Di sisi lain, pandemi yang melanda dunia beberapa tahun lalu telah mempercepat perubahan tersebut, memaksa banyak bisnis untuk menutup atau merumahkan karyawan. Efek domino dari kondisi ini sangat nyata: meningkatnya angka pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, dan tergerusnya kelas menengah---yang notabene merupakan tulang punggung ekonomi.

Jumlah Pengangguran Meningkat, Lulusan Vokasi dan Universitas Terpukul

Di tengah ketidakpastian ekonomi yang melanda, sebuah fenomena mengkhawatirkan mulai terungkap dari dunia pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia. Jumlah pengangguran di kalangan lulusan pendidikan vokasi (Diploma I, II, III) mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu 8,5%, sementara lulusan universitas (S1) mengalami tingkat pengangguran yang lebih tinggi lagi, mencapai 25%. Situasi ini memaksa banyak dari mereka untuk mencari jalan keluar, salah satunya dengan melanjutkan studi ke jenjang S2 sebagai bentuk pelarian dari ketatnya persaingan di pasar kerja.

Ironisnya, situasi sulit ini tidak hanya berakhir di sana. Banyak dari lulusan terbaik negeri ini terpaksa menelan pil pahit dengan mendaftarkan diri pada posisi yang tidak sesuai dengan formasi pendidikan mereka. Adalah sebuah pemandangan yang menyedihkan ketika kita melihat lulusan S1 terpaksa mendaftar pada kriteria lulusan SMP atau SMA, hanya karena kesempatan kerja yang sesuai dengan kualifikasi mereka amat terbatas.

Fenomena ini mengindikasikan adanya mismatch yang signifikan antara output pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Sektor industri dan jasa tampaknya belum mampu menyerap tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan, baik vokasi maupun universitas, dengan baik. Ini menjadi sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan semua stakeholder terkait untuk menciptakan ekosistem yang lebih kondusif, di mana lulusan pendidikan dapat ditempatkan sesuai dengan keahlian dan pendidikan yang mereka peroleh.

Di sisi lain, situasi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang relevansi kurikulum pendidikan yang ada dengan kebutuhan dunia kerja saat ini. Apakah kurikulum pendidikan kita sudah cukup adaptif dengan perubahan yang terjadi di industri dan sektor jasa? Atau masih terjebak dalam paradigma lama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman?

Tidak dapat dipungkiri, tantangan ini membutuhkan solusi yang komprehensif dan kolaboratif. Pemerintah, industri, dan institusi pendidikan harus duduk bersama untuk menciptakan sinergi, merumuskan kembali kurikulum yang lebih relevan, serta membuka lebih banyak peluang magang dan praktik kerja bagi mahasiswa. Hal ini diharapkan dapat mempersiapkan mereka tidak hanya dengan pengetahuan teoritis, tetapi juga dengan keahlian praktis yang dibutuhkan oleh pasar kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun