Mohon tunggu...
Rhaudotul Mubarok
Rhaudotul Mubarok Mohon Tunggu... Mahasiswa Gabut

Kesana-kemari cuman haha hihi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Marhaenisme Tak Pernah Mati: Menjawab Tantangan Zaman di Era Digital

10 Juli 2025   13:30 Diperbarui: 10 Juli 2025   13:30 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc: PPAB GmnI Komisartiat Se-Unikama

    Di tengah gelombang besar perubahan sosial, politik, dan teknologi yang datang silih berganti, tak sedikit orang yang mempertanyakan: apakah ideologi seperti Marhaenisme masih relevan? Apakah gagasan yang lahir dari semangat kemerdekaan dan perjuangan melawan penjajahan itu tidak usang ditelan zaman? Pertanyaan ini muncul bukan dari ruang kosong, melainkan dari realitas hari ini yang semakin dikuasai oleh kekuatan modal, teknologi kecerdasan buatan, dan ketimpangan sosial yang kian menganga. Namun di balik semua itu, ada sekelompok kecil orang yang masih yakin, bahwa Marhaenisme bukan sekadar warisan sejarah, tapi prinsip hidup yang terus berbicara tentang keadilan, keberpihakan, dan kedaulatan rakyat.

    Marhaenisme, sebagaimana didefinisikan oleh Bung Karno, lahir dari pengamatannya terhadap rakyat kecil Indonesia-bukan proletar dalam arti Marxisme Eropa, tetapi kaum yang memiliki alat produksinya namun tetap tertindas dalam sistem. Ia bukan sekadar petani atau buruh, tapi siapa saja yang dipinggirkan oleh sistem ekonomi-politik yang timpang. Dalam pengertian ini, Marhaenisme tidak pernah terbatas pada konteks zaman tertentu. Justru ketika bentuk penindasan berubah, Marhaenisme menemukan maknanya kembali. Di era digital saat ini, ketika manusia mulai digantikan oleh mesin, ketika data menjadi komoditas baru, dan ketika penguasaan informasi menjadi alat dominasi global, Marhaenisme hadir sebagai lensa untuk membaca semua itu: siapa yang diuntungkan? Siapa yang ditindas?

    Kehadiran Artificial Intelligence (AI) yang menggantikan peran kerja manusia bukan semata soal efisiensi. Ia juga soal relasi kuasa. Ketika pekerjaan-pekerjaan digantikan oleh sistem otomatis, manusia kehilangan bukan hanya penghasilannya, tapi juga martabatnya sebagai subjek yang bekerja. Marhaenisme menolak hal ini. Ia menegaskan bahwa manusia harus tetap menjadi subjek dalam proses produksi-bukan semata alat, apalagi korban. Maka perjuangan hari ini bukan sekadar menolak teknologi, tapi menolak teknologi yang menindas. Kecanggihan harus berpihak, bukan menyingkirkan.

    Kesalahpahaman umum yang sering muncul adalah penyamaan Marhaenisme dengan komunisme. Padahal, Marhaenisme tidak menolak kepemilikan pribadi, tidak mengajarkan revolusi bersenjata, dan tidak bermaksud menghapus kelas sosial dengan cara paksa. Marhaenisme adalah semangat kolektif yang berakar pada budaya gotong royong dan nilai keadilan sosial bangsa Indonesia. Ia lebih dekat pada sosialisme yang dimodifikasi secara kontekstual-yang tidak mengingkari nilai-nilai lokal, agama, dan kearifan tradisional. Dengan cara ini, Marhaenisme mampu menjembatani semangat perubahan tanpa tercerabut dari akar budayanya.

Doc: KTD RAYA  Dpc GmnI Kab. Malang
Doc: KTD RAYA  Dpc GmnI Kab. Malang

    Dalam konteks perjuangan mahasiswa, GMNI adalah salah satu wadah yang menghidupi semangat Marhaenisme itu. Tapi organisasi bukan tanpa cela. Di banyak tempat, kita menyaksikan bagaimana semangat perjuangan tergantikan oleh ambisi jabatan. GMNI bukan partai politik, dan tidak berafiliasi dengan kepentingan politik praktis. Namun dalam realitasnya, banyak yang menjadikan GMNI sebagai batu loncatan kekuasaan. Ini bukan kesalahan ideologi. Ini adalah pengkhianatan terhadapnya. GMNI tidak mengajarkan perebutan panggung, tapi pengabdian pada rakyat. Dan ketika arah itu menyimpang, yang diperlukan bukan pengingkaran, melainkan otokritik dan pemulihan.

    Namun menjadi Marhaenis sejati tidak pernah bergantung pada keberadaan organisasi. Jika suatu saat GMNI bubar, jika simbol dan atribut perjuangan dilucuti, maka yang tetap hidup adalah kesadaran. Kesadaran bahwa keberpihakan pada rakyat adalah pilihan yang melampaui struktur. Marhaenisme tidak berhenti di ruang rapat atau kongres, ia hidup di cara seseorang bekerja, berbicara, dan mengambil sikap. Ia hidup dalam cara seseorang menolak diam saat rakyat tertindas, dan memilih berdiri, meski sendirian.

    Di tengah dunia yang semakin pragmatis, menjadi Marhaenis mungkin tampak usang. Tapi justru karena itu, ia menjadi lebih penting. Dunia hari ini tidak kekurangan ide, tapi kekurangan keberanian. Marhaenisme menuntut keberanian untuk melawan, untuk berpihak, dan untuk tetap jujur pada nilai-nilai keadilan sosial. Ideologi ini tidak dibentuk untuk ramai-ramai, tapi untuk mereka yang bersedia menempuh jalan sunyi demi suara yang tak terdengar: suara rakyat.

Selama masih ada ketimpangan, selama masih ada mereka yang dikorbankan demi keuntungan segelintir orang, selama itu pula Marhaenisme tetap hidup. Tidak di menara gading, tapi di hati mereka yang menolak tunduk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun