Setiap tanggal 21 April kita kembali menyebut nama Kartini---sosok perempuan cerdas dari masa lampau yang berani bersuara, menyuarakan pikirannya ditengah budaya kuat patriarki saat itu. Peringatan hari Kartini selalu ditandai dengan perayaan dan rutinitas seremoni terkait Perempuan termasuk memakai baju kebaya ke sekolah. Dibalik perayaan ini, ada satu pertanyaan yang terus terpikirkan dan ini butuh kejujuran untuk menjawabnya:
Sudahkah perempuan hari ini benar-benar merdeka berpikir?
Kita hidup di zaman yang katanya serba bebas---bebas berekspresi, bebas berpendapat, bebas memilih jalan hidup. Namun, ada fenomena Kartini modern yang justru terikat oleh belenggu-belenggu baru yang tak kalah membatasi. Ia mungkin tak lagi dikurung dalam rumah besar atau larangan sekolah, Ia tak sedang dilarang untuk bekerja atau berkarir, tapi kini ia terpenjara oleh tekanan sosial yang halus: standar kecantikan yang tak realistis, ambisi yang dikendalikan algoritma, atau tuntutan kesempurnaan lainnya yang melelahkan.
Merdeka berpikir bukan berarti menolak zaman. Justru, Kartini hari ini harus bisa berdamai dengan kemajuan, sambil tetap waras dan berakar. Ia perlu cerdas menyikapi dunia digital---mampu memilah informasi, memilih nilai, dan tidak menjadikan validasi publik sebagai ukuran harga diri. Dunia digital bisa jadi alat, tapi bukan arah hidup.
Kartini hari ini tidak harus menolak media sosial atau perkembangan teknologi. Namun ia harus cukup dewasa untuk tidak kehilangan jati diri. Ia tetap sadar bahwa ukuran perempuan bukanlah seberapa banyak like, seberapa banyak prestasi dan cuan yang didapat, sekaya apa pasangannya, tapi seberapa bermakna kehadirannya di rumah, di masyarakat, dan di semesta.
Pendidikan dari dahulu menjadi salah satu medan perjuangan penting Kartini. Bila Kartini dahulu memperjuangkan akses terhadap sekolah, Kartini masa kini seharusnya memperjuangkan arah pendidikan---yakni akses pendidikan yang berkualitas, Pendidikan yang mampu memanusiakan manusia, membawa manusia kembali pada fitrahnya. Bukan berlomba dan pamer Pendidikan mahal anak-anaknya, tetapi pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri. Pendidikan yang menanamkan nilai spiritual, karakter, dan tanggung jawab, bukan sekadar kompetisi dan gengsi.
Kartini yang tumbuh dari pendidikan semacam ini tidak akan tergerus zaman. Ia tahu bagaimana Ia memanfaatkan kemajuan zaman dengan bijak. Ada tiga hal yang harus selalu menjadi pegangan para Kartini: iman, ilmu, dan adab. Tanpa iman, ia mudah hilang arah. Tanpa ilmu, ia rapuh dalam bertindak. Tanpa adab, ia kehilangan kemuliaan sebagai manusia.
Di tengah dunia yang kian panas---baik secara harfiah maupun emosional---Kartini juga perlu hadir sebagai penjaga kehidupan. Ia tak hanya mencintai anak-anaknya, tapi juga bumi tempat mereka tumbuh. Ia mengajarkan anak memilah sampah, merawat tanaman, serta hidup dalam kesederhanaan yang sadar. Ini bukan sekadar gaya hidup, tapi bentuk kasih sayang yang mendalam terhadap generasi masa depan.
Kartini masa kini tak bisa lagi sekadar menjadi simbol. Ia harus hadir sebagai kekuatan---yang berpikir merdeka, bertindak bijak, dan tetap membumi. Ia tahu kapan harus diam, kapan harus bersuara. Ia tahu bahwa perannya sebagai ibu peradaban bukanlah beban, tapi kehormatan. Kartini hari ini masih belum sepenuhnya merdeka berpikir jika masih banyak yang mengira bahwa menjadi perempuan hebat adalah soal pencapaian duniawi semata.
Kini saatnya kita bangkit---bukan untuk melawan laki-laki, bukan untuk jadi lebih dari siapa-siapa. Tapi untuk menjadi utuh sebagai perempuan yang sadar akan nilainya, berani bersuara, tetap belajar, dan terus mengakar pada nilai-nilai kehidupan yang sejati. Selamat hari Kartini!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI