Mohon tunggu...
Rachminawati
Rachminawati Mohon Tunggu... Dosen

Nama panggilannya Upi, seorang Dosen dan Peneliti di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Indonesia sejak tahun 2003. Selain aktif menjalankan tugasnya sebagai dosen dan peneliti, dikenal juga sebagai praktisi Pendidikan Berbasis Fitrah sebuah konsep pendidikan otentik Islam yang mengembalikan lagi Pendidikan pada fitrah manusia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Ia terapkan langsung pada kedua permata hatinya di rumah. Hal inilah yang mendorong Ia dan keluarga kecilnya beserta sahabat terdekat mendirikan komunitas Garut Zero Waste (GZW) sebagai wadah berkhidmat pada Bumi dan lingkungannya yang kini sudah banyak kerusakan karena ulah manusia. “Pilah sampah dari rumah untuk Garut bebas sampah”, sebagaimana slogan GZW tersebut, Ia berkeyakinan, dari rumahlah tempat solusi segala kebaikan, maka mulailah diri kita ini bisa hebat dan bermanfaat sejak dari rumah. Sehebat atau sejauh apapun kita pergi, rumahlah tempat kita pulang. Aktif juga di Majelis PAUD DASMEN Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat sejak 2023, Ia berkomitmen untuk bisa lebih meluaskan khidmahnya di bidang Pendidikan Masyarakat yang menekankan pada konsep ketahanan keluarga dengan penerapan Pendidikan Berbasis Fitrah. Baginya, menjadi pendidik tidak cukup hanya berada di ruang-ruang kampus dengan diskusi elite keilmuan tertentu, tetapi bagaimana Pendidikan itu mampu mencerahkan dan membuat banyak perubahan baik secara langsung di Masyarakat. Untuk bersilaturahmibisa menghubungi alamat email berikut: rachminawati@gmail.com atau rachminawati@unpad.ac.id.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Trump: Hanya ada Dua Gender di Amerika, Laki-laki dan Perempuan!

6 Februari 2025   21:20 Diperbarui: 6 Februari 2025   21:20 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto diambil dari Oneindia News Youtube

Hujatan dan Sambutan Pernyataan Donald Trump terkait LGBQT+

Pada upacara pelantikan Presiden Amerika Serikat bulan lalu, Donald Trump membuat keputusan yang mengejutkan dunia dengan menandatangani perintah eksekutif yang langsung memicu kontroversi besar. Dalam perintah ini, pemerintah federal secara eksplisit hanya mengakui dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Kebijakan Trump yang membatasi pengakuan gender di Amerika ini sangat mengejutkan, mengingat Amerika Serikat sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama hak-hak kelompok LGBTQ+ (Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer). Negara yang selama ini menjadi simbol perjuangan kesetaraan ini seakan mundur dari nilai-nilai inklusi yang pernah diperjuangkan. Lebih lanjut, Trump menghapus berbagai program keberagaman dan inklusi yang telah dibangun dengan susah payah, yang menunjukkan bahwa hanya dua kategori tersebut yang sah di masyarakat, tanpa ruang bagi identitas lain.

Keputusan ini tidak hanya memicu ketegangan politik dalam negeri Amerika, tetapi juga memicu kecaman internasional. Banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini bisa memperburuk ketidaksetaraan sosial dan menciptakan ketidakadilan bagi komunitas LGBTQ+ di seluruh dunia. Namun, ada juga kelompok yang menyambut kebijakan ini, terutama mereka yang menentang pengakuan kelompok LGBTQ+, yang melihatnya sebagai langkah untuk mengembalikan "nilai-nilai tradisional" yang dianggap hilang dan untuk menegakkan norma-norma moral dan sosial yang telah lama ada.

Keputusan ini menimbulkan pertanyaan penting bagi Indonesia yang kini berada di bawah tekanan komunitas internasional untuk lebih inklusif dan memberi ruang lebih banyak pada kelompok LGBTQ+ dalam rangka menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Terkait kebijakan Trump, Indonesia kini dihadapkan pada dua pertanyaan: pertama, apakah Indonesia harus mengeluarkan kebijakan yang menolak adanya jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan? Kedua, apakah Indonesia tetap harus mendukung inklusivitas yang memberi ruang bagi berbagai identitas gender, mengingat kewajiban internasional di bidang HAM?

Tulisan ini berusaha menjawab kedua pertanyaan tersebut dari perspektif hukum HAM internasional, dengan menganalisis kebijakan Trump berdasarkan prinsip-prinsip HAM Universal dan hukum internasional terkait. Analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi Indonesia dalam menentukan langkah terbaik untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, berkeadilan, dan menghormati HAM.

 

Pro dan Kontra Eksistensi LGBTQ+

Isu LGBTQ+ masih menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan aktivis HAM. Pendukung hak-hak LGBTQ+ berargumen bahwa pengakuan identitas gender dan orientasi seksual adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Mereka menekankan bahwa diskriminasi terhadap kelompok ini adalah pelanggaran HAM, dan mereka menuntut perlakuan serta pengakuan yang setara, baik secara sosial maupun hukum. Dalam konteks keluarga, pasangan sesama jenis memperjuangkan hak adopsi anak, dengan alasan bahwa yang lebih penting daripada jenis kelamin orang tua adalah lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang bagi anak. Di dunia pendidikan, kurikulum inklusif dianggap penting untuk mengurangi perundungan dan meningkatkan pemahaman tentang keberagaman, agar anak-anak LGBTQ+ merasa diterima di sekolah.

Namun, kelompok masyarakat yang menentang keberadaan LGBTQ+ melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai moral dan sosial mereka. Mereka meyakini bahwa eksistensi kelompok ini disebabkan oleh penyimpangan seksual atau sosial dan bahkan dianggap sebagai penyakit sosial yang merusak tatanan masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa pengakuan lebih dari dua jenis kelamin bisa membingungkan anak-anak dan merusak konsep keluarga heteronormatif yang dianggap alami dalam masyarakat berbudaya luhur. Dari segi kesehatan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok LGBTQ+ memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan mental, penyalahgunaan zat adiktif, dan penyakit menular seksual. Dalam pendidikan, ada kekhawatiran bahwa mengajarkan keberagaman gender di sekolah dapat "mempromosikan" gaya hidup LGBTQ+.

Perdebatan ini menunjukkan gap yang besar antara hak individu kelompok LGBTQ+ dan nilai sosial serta moral yang diyakini masyarakat. Pengakuan atau penolakan terhadap hak LGBTQ+ sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat menerima atau menolak nilai-nilai sosial tersebut. Semakin tinggi nilai moral yang dianut, semakin besar penolakan terhadap eksistensi LGBTQ+. Berdasarkan asumsi ini, apakah kebijakan Trump melanggar HAM?

 

Kebijakan Trump dan Hukum HAM Internasional 

HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir, tanpa memandang latar belakang apapun. HAM bersifat universal, artinya hak ini dimiliki oleh setiap orang di mana pun mereka berada tanpa diskriminasi, termasuk berdasarkan ras, agama, atau status sosial. HAM mencakup hak untuk hidup, kebebasan, dan hak untuk memiliki sesuatu. Yang sering terlupakan adalah bahwa HAM harus dapat memanusiakan manusia, karena berakar pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. HAM bukan kebebasan tanpa batas, melainkan memiliki pembatasan yang diperlukan untuk menjaga hak orang lain dan tujuan Tuhan menciptakan manusia itu sendiri. Negara hadir untuk mengatur dan melindungi hak antar sesama manusia demi menjaga keteraturan dan ketertiban sosial.

Bagaimana hukum internasional melindungi hak LGBTQ+? Perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok LGBTQ+ dalam hukum internasional berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa semua individu berhak diperlakukan sama tanpa diskriminasi, meski orientasi seksual dan identitas gender tidak disebutkan secara eksplisit. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang diskriminasi dan melindungi hak atas privasi. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menegaskan bahwa LGBTQ+ tidak boleh dikriminalisasi dan berhak atas perlindungan dari kekerasan. Resolusi Dewan HAM PBB 2014 tentang "Hak Asasi Manusia, orientasi seksual dan identitas gender" juga menegaskan bahwa negara-negara wajib melindungi hak dan kebebasan kelompok LGBTQ+ sebagai HAM universal, terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka.

Kita bisa mengklaim bahwa HAM itu universal, namun dalam kenyataannya implementasi HAM dapat bervariasi di tiap negara tergantung kondisi sosial, ekonomi, budaya, agama, atau politik. HAM dalam konteks ini bersifat relatif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan sosial dan budaya negara. Hal ini terkait juga dengan Pembatasan HAM yang terdapat dalam instrumen HAM internasional yang sama. Pembatasan HAM dapat dilakukan untuk menjaga ketertiban umum atau moralitas masyarakat, misalnya pada Pasal 29 DUHAM yang memungkinkan pembatasan untuk alasan tersebut. Dalam Hukum Internasional juga terdapat Doktrin Margin of Appreciation yang memberi ruang bagi negara untuk menyesuaikan pemenuhan HAM sesuai dengan kondisi domestic negara tersebut.

Terkait kebijakan Trump yang hanya mengakui dua gender, kebijakan tersebut dapat dipandang sebagai implementasi dari pembatasan HAM yang sesuai dengan situasi Amerika yang ingin mengembalikan nilai-nilai tradisional mereka. Trump berargumen bahwa kebijakan ini bukan untuk mendiskriminasi, tetapi untuk mengembalikan nilai-nilai yang diyakini akan membawa kebaikan bagi negaranya. Pertanyaan apakah kebijakan ini melanggar HAM atau tidak hanya bisa dijawab melalui penilaian hakim di pengadilan.

 

HAM LGBTQ+ dan Respons Indonesia 

Keberadaan kelompok LGBTQ+ di Indonesia kini semakin terbuka, meski tetap mendapat penolakan yang kuat dari sebagian besar masyarakat. Meskipun gerakan dan kampanye terus dilakukan, pengakuan terhadap kelompok ini masih sangat terbatas. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap eksistensi LGBTQ+ sebagai ancaman terhadap budaya dan agama. Agama Islam, serta agama resmi lainnya di Indonesia, tidak mengakui atau mengizinkan pernikahan sesama jenis atau adopsi oleh pasangan sesama jenis.

Bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya merespon? Apakah partisipasi Indonesia dalam berbagai instrumen HAM internasional memaksa negara ini untuk mengakui keberadaan dan hak kelompok LGBTQ+?

Seperti yang telah dijelaskan pada konteks kebijakan Trump, Indonesia juga memiliki hak untuk membatasi kebebasan berekspresi bagi kelompok LGBTQ+ dan dapat menerapkan prinsip Margin of Appreciation secara luas. Ada berbagai alasan yang mendukung pembatasan ini. Pertama, dalam konteks kebutuhan hukum, seperti untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau melindungi hak-hak serta kebebasan individu lainnya. Resistensi masyarakat mayoritas terhadap kelompok LGBTQ+ perlu menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia agar tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Selain itu, banyak penelitian di bidang kesehatan, pendidikan, dan keluarga yang menunjukkan bahwa LGBTQ+ merupakan perilaku seksual yang menyimpang, yang jika dibiarkan dapat mengancam dan melanggar hak-hak lainnya. Kelompok LGBTQ+, khususnya transgender dan non-biner, memiliki tingkat masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya, seperti gangguan mental, depresi, kecanduan, dan penyakit menular seksual. Jika pemerintah mengakui eksistensi kelompok LGBTQ+ atas nama kewajiban hak asasi manusia universal tanpa mengindahkan resistensi Masyarakat serta dampak buruk sebagaimana diuraikan di atas,   maka yang mungkin terjadi adalah kekacauan. Untuk menghindari adanya kekacauan yang dapat mengancam keamanan nasional serta ketertiban umum maka Pemerintah secara sah dapat membatasi atau menolak hak-hak kelompok LGBTQ+ tersebut.

Kedua, terkait dengan prinsip legalitas dalam pembatasan hak, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memberikan dasar hukum yang kuat untuk pembatasan ini. Salah satu butir utama Pancasila adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa negara memiliki wewenang untuk membatasi hak asasi manusia demi moralitas, agama, dan ketertiban umum. Kedua instrumen negara ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak eksistensi kelompok LGBTQ+. Selain itu, beberapa undang-undang di Indonesia, seperti UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan, secara eksplisit hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Pembatasan ini dapat dipertahankan jika semua persyaratan tersebut dipenuhi. Sebagai masyarakat, kita memiliki tugas untuk memastikan bahwa nilai-nilai agama tetap hidup dan berkembang baik, secara tidak langsung hal ini akan memperkuat posisi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan anti LGBTQ+.

Meskipun Hukum Internasional memberikan ruang untuk pembatasan dan penafsiran luas mengenai implementasi hak asasi manusia, Indonesia tetap harus memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang diterapkan tidak mengabaikan hak-hak dasar individu dalam kelompok LGBTQ+, termasuk hak hidup, hak atas akses layanan kesehatan, dan perlindungan hukum bagi mereka. Pemerintah dan masyarakat sebaiknya menerapkan pendekatan yang lebih humanis untuk membantu mereka agar kembali pada fitrah mereka sebagai manusia, yaitu sebagai laki-laki atau perempuan. Penolakan terhadap eksistensi kelompok LGBTQ+ bukan berarti diskriminasi, penghinaan, atau perendahan martabat mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun