Kebijakan Trump dan Hukum HAM Internasional
HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir, tanpa memandang latar belakang apapun. HAM bersifat universal, artinya hak ini dimiliki oleh setiap orang di mana pun mereka berada tanpa diskriminasi, termasuk berdasarkan ras, agama, atau status sosial. HAM mencakup hak untuk hidup, kebebasan, dan hak untuk memiliki sesuatu. Yang sering terlupakan adalah bahwa HAM harus dapat memanusiakan manusia, karena berakar pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. HAM bukan kebebasan tanpa batas, melainkan memiliki pembatasan yang diperlukan untuk menjaga hak orang lain dan tujuan Tuhan menciptakan manusia itu sendiri. Negara hadir untuk mengatur dan melindungi hak antar sesama manusia demi menjaga keteraturan dan ketertiban sosial.
Bagaimana hukum internasional melindungi hak LGBTQ+? Perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok LGBTQ+ dalam hukum internasional berlandaskan pada prinsip non-diskriminasi, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa semua individu berhak diperlakukan sama tanpa diskriminasi, meski orientasi seksual dan identitas gender tidak disebutkan secara eksplisit. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang diskriminasi dan melindungi hak atas privasi. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menegaskan bahwa LGBTQ+ tidak boleh dikriminalisasi dan berhak atas perlindungan dari kekerasan. Resolusi Dewan HAM PBB 2014 tentang "Hak Asasi Manusia, orientasi seksual dan identitas gender" juga menegaskan bahwa negara-negara wajib melindungi hak dan kebebasan kelompok LGBTQ+ sebagai HAM universal, terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka.
Kita bisa mengklaim bahwa HAM itu universal, namun dalam kenyataannya implementasi HAM dapat bervariasi di tiap negara tergantung kondisi sosial, ekonomi, budaya, agama, atau politik. HAM dalam konteks ini bersifat relatif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan sosial dan budaya negara. Hal ini terkait juga dengan Pembatasan HAM yang terdapat dalam instrumen HAM internasional yang sama. Pembatasan HAM dapat dilakukan untuk menjaga ketertiban umum atau moralitas masyarakat, misalnya pada Pasal 29 DUHAM yang memungkinkan pembatasan untuk alasan tersebut. Dalam Hukum Internasional juga terdapat Doktrin Margin of Appreciation yang memberi ruang bagi negara untuk menyesuaikan pemenuhan HAM sesuai dengan kondisi domestic negara tersebut.
Terkait kebijakan Trump yang hanya mengakui dua gender, kebijakan tersebut dapat dipandang sebagai implementasi dari pembatasan HAM yang sesuai dengan situasi Amerika yang ingin mengembalikan nilai-nilai tradisional mereka. Trump berargumen bahwa kebijakan ini bukan untuk mendiskriminasi, tetapi untuk mengembalikan nilai-nilai yang diyakini akan membawa kebaikan bagi negaranya. Pertanyaan apakah kebijakan ini melanggar HAM atau tidak hanya bisa dijawab melalui penilaian hakim di pengadilan.
HAM LGBTQ+ dan Respons Indonesia
Keberadaan kelompok LGBTQ+ di Indonesia kini semakin terbuka, meski tetap mendapat penolakan yang kuat dari sebagian besar masyarakat. Meskipun gerakan dan kampanye terus dilakukan, pengakuan terhadap kelompok ini masih sangat terbatas. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap eksistensi LGBTQ+ sebagai ancaman terhadap budaya dan agama. Agama Islam, serta agama resmi lainnya di Indonesia, tidak mengakui atau mengizinkan pernikahan sesama jenis atau adopsi oleh pasangan sesama jenis.
Bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya merespon? Apakah partisipasi Indonesia dalam berbagai instrumen HAM internasional memaksa negara ini untuk mengakui keberadaan dan hak kelompok LGBTQ+?
Seperti yang telah dijelaskan pada konteks kebijakan Trump, Indonesia juga memiliki hak untuk membatasi kebebasan berekspresi bagi kelompok LGBTQ+ dan dapat menerapkan prinsip Margin of Appreciation secara luas. Ada berbagai alasan yang mendukung pembatasan ini. Pertama, dalam konteks kebutuhan hukum, seperti untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau melindungi hak-hak serta kebebasan individu lainnya. Resistensi masyarakat mayoritas terhadap kelompok LGBTQ+ perlu menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia agar tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Selain itu, banyak penelitian di bidang kesehatan, pendidikan, dan keluarga yang menunjukkan bahwa LGBTQ+ merupakan perilaku seksual yang menyimpang, yang jika dibiarkan dapat mengancam dan melanggar hak-hak lainnya. Kelompok LGBTQ+, khususnya transgender dan non-biner, memiliki tingkat masalah kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya, seperti gangguan mental, depresi, kecanduan, dan penyakit menular seksual. Jika pemerintah mengakui eksistensi kelompok LGBTQ+ atas nama kewajiban hak asasi manusia universal tanpa mengindahkan resistensi Masyarakat serta dampak buruk sebagaimana diuraikan di atas, maka yang mungkin terjadi adalah kekacauan. Untuk menghindari adanya kekacauan yang dapat mengancam keamanan nasional serta ketertiban umum maka Pemerintah secara sah dapat membatasi atau menolak hak-hak kelompok LGBTQ+ tersebut.
Kedua, terkait dengan prinsip legalitas dalam pembatasan hak, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memberikan dasar hukum yang kuat untuk pembatasan ini. Salah satu butir utama Pancasila adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa negara memiliki wewenang untuk membatasi hak asasi manusia demi moralitas, agama, dan ketertiban umum. Kedua instrumen negara ini menegaskan bahwa Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak eksistensi kelompok LGBTQ+. Selain itu, beberapa undang-undang di Indonesia, seperti UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan, secara eksplisit hanya mengakui dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Pembatasan ini dapat dipertahankan jika semua persyaratan tersebut dipenuhi. Sebagai masyarakat, kita memiliki tugas untuk memastikan bahwa nilai-nilai agama tetap hidup dan berkembang baik, secara tidak langsung hal ini akan memperkuat posisi Indonesia untuk mempertahankan kebijakan anti LGBTQ+.