Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tujuh dari Sepuluh Wartawan “bukan” Wartawan?

6 Juni 2011   14:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:48 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selama menjadi wartawan, seingat saya, belum pernah saya temui pernyataan tegas lagi lugas dari rekan wartawan yang saya kenal. Pernyataan bahwa wartawan adalah jalan yang saya pilih

*
Saya seorang wartawan. Maret 2006 saya mencoba memasuki dunia yang sesungguhnya tidak begitu “asing” ini. Ada beberapa sebab mengapa saya sebut tak asing, sekalipun kenyataanya jauh berbeda.
Sambil malu-malu, saya tuliskan alasan ini, bahwa sewaktu SMA, dalam beberapa kali bolos saya berpura menjadi wartawan sekolah. Saya membincangi sejumlah PKL.  Lalu, ketika mahasiswa, saya termasuk pendiri buletin kampus, yang kini kabarnya tak lagi terbit. Bukan karena dibredel, tapi mungkin karena kaderisasi yang gagal!
Yang mendukung saya menjadi wartawan adalah, hobi menulis dan membaca.

Ilmu yang didapat untuk mendapat gelar Sarjana Pertanian boleh dibilang tak terpakai di dunia ini. Saat menjadi wartawan, saya sempat diterima di perusahaan perkebunan  kelapa sawit milik Grup Bakrie. Belakangan, saya menolaknya dan ketika saya berbagi cerita dengan teman sesama sarjana pertanian, mereka menyayangkan pilihan saya itu.
Selama menjadi wartawan, seingat saya, belum pernah saya temui pernyataan tegas lagi lugas dari rekan wartawan yang saya kenal. Pernyataan bahwa wartawan adalah jalan yang saya pilih. Bahwa keinginan menjadi wartawan dibarengi dengan nilai luhur yang melekat pada profesi ini. Bahwa wartawan adalah panggilan nurani. “”Agama” Saya Adalah Jurnalisme.” Anggap saja begitu, meminjam judul buku Andreas Harsono. Ah, tentu tak harus setiap orang berkoar, berteriak soal idealismenya, bukan?
Saya justru mendapati keinginan  kuat menjadi wartawan dari seorang gadis yang menjadi bintang tamu di Kick Andy. Saya lupa namanya, padahal belum lama acara itu tayang. Seingat saya, ia adalah perempuan Bali yang memenangkan lomba foto internasional.
Lalu, keinginan kuat kedua saya dapati dari anak teman istri saya. Renjana itu telah dipeliharanya sejak ia duduk sebagai mahasiswa. Sayang, saya tak tahu apakah cita-citanya  itu kesampaian atau tidak.
Dalam suatu kesempatan saat memberikan materi pelatihan jurnalistik  akhir tahun lalu, saya sempat berkata di forum. “Bahwa pengalaman masa lalu ikut menentukan pilihan kita di masa datang.” Dua alasan di atas, mungkin menjadi pengalaman yang ikut mempengaruhi pilihan saya mengapa memilih menjadi wartawan.
Pada akhirnya, pekerjaan, profesi yang kita tekuni, tidak selalu sesuai dengan cita-cita kita, termasuk latar belakang pendidikan. Banyak faktor yang akhirnya menjadi penentu. Pada setiap diri akan berbeda tentunya.
Teringat dengan sejumlah teman yang akhirnya memutuskan menjadi guru. Seakan guru menjadi pilihan akhir dan paling gampang setelah berletih di kerasnya dunia para jobseeker. Mengambil Akta IV (ketika masih diperbolehkan), lalu ikut menjadi guru. Tentu tak semua begitu, dan tentu semua punya alasannya masing-masing.
Lima tahun menjadi wartawan di dua perusahaan media berbeda, membuat saya menemukan banyak tipikal wartawan. Banyak di antaranya lalu memutuskan tak lagi menancapkan penanya. Ada beragam alasan, pastinya. Mungkin, ritme kerja dan  gaji jadi dua faktor pertimbangan mereka.
Lalu soal judul di atas, Tujuh Dari Sepuluh Wartawan “Bukan” Wartawan, sedikit memaksa. Tentu saya mengarang saja. Karenanya ada tanda Tanya di sana. Dan memang saya belum mendapati penelitian akan hal itu. Jadi Maaf ya.
Tak pernah bercita-cita menjadi wartawan, pada akhirnya saya menikmati profesi ini. Sekalipun masih muncul tanya,  mengapa saya memilih dunia ini. Dan saya sangat sadar, masih sangat sedikit belajar dunia ini dari Rosihan Anwar yang baru berpulang, Bill Kovach dan banyak nama lainnya, melalui pemikiran atau buku mereka.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa mencari wartawan itu tak mudah. Susah mencari karena tak banyak yang benar-benar siap dengan irama kerja wartawan dan segala risiko yang melekat padanya. Wartawan yang kerja nyaris 24 jam. Dalam artian, siaga dengan penugasan dari atasan. Kadang tetap bekerja selagi kebanyakan orang menikmati santainya hari libur.
Ah..jadi ngacao nih, serasa curhat. Sekali lagi, menjadi wartawan sebenar-benarnya wartawan sebagaimana yang diutarakan Bill Kovach, tidaklah gampang. Pun dengan mencarinya.
Saya kutipkan saja elemen jurnalisme Bill Kovach dan Tim Rosenstiel. Di antaranya, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah pada warga, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, wartawan harus menjaga independensi terhadap sumber berita, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
Lalu,jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, jurnalisme harus menyediakan forum public, para wartawan diperbolehkan mengikuti hati nuraninya. Semoga lain waktu saya bisa berbagi lebih dalam soal elemen dasar jurnalisme itu. Dan tentu yang paling pentung mengamalkannya. Bisa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun