Mohon tunggu...
Rachmad Hadjarati
Rachmad Hadjarati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Anak di rumah. Jamaah di masjid. Warga di kampung. Sebiji debu di mata Allah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenaikan BBM (Akan) Mengangkangi Konstitusi?

5 April 2012   12:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:00 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah negara hukum, lazim ketika ada sebuah konstitusi yang kemudian menjadi dasar suatu negara dalam menjalankan pemerintahan. Konsep konstitusi sendiri telah ada sejak zaman Yunani. Dalam bahasa Yunani, konstitusi kemudian dibedakan dengan undang-undang biasa. Politea sebagai konstitusi, Nomoi sebagai undang-undang biasa. Politea mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Nomoi karena Politea.

Selain dasar, ada juga yang berpendapat bahwa konstitusi juga sebagai pembentuk suatu negara. Menurut Wirjono Prodjodikoro, konstitusi berasal dari bahasa perancis, Constituer yang berarti membentuk, yang dalam konteks ini membentuk negara. Sudah jelaslah bahwa dalam konstitusi juga terdapat cita-cita pembentukan negara yang diamanatkan oleh para founding father dalam konstitusi.

Tentunya cita-cita ini tidak sembarangan disematkan oleh para founding father. Dimaksudkan disematkan dalam konstitusi, agar para pemegang amanah rakyat dalam menjalankan tampuk pemerintahan, bisa mengarahkan negara ini menuju Welfare State, cita-cita mulia para founding father, negara yang mampu mensejahterahkan rakyatnya.
Cita-cita ini yang kemudian diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945 Negara Republik Indonesia.

Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam ya ng terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebe sar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berk eadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal ini yang kemudian menjadi penjamin kesejahteraan dalam setiap penyelenggaraan pemerintah. Bahwa hak negara lah untuk menguasai sektor-sektor produksi yang menguasai hajat hidup jutaan rakyat Indonesia.

Pengangkangan Putusan MK = Mengangkangi Konstitusi
Masalah kemudian timbul dalam pembahasan UU APBN-P 2012. Rapat Paripurna yang direncanakan membahas tentang persetujuan DPR untuk mendukung atau tidak kenaikan BBM, membahas mengenai pasal 7 ayat 6 yang berbunyi seperti ini :

"Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan."

Pemerintah yang berniat menaikkan BBM, seakan dibantu dengan keputusan DPR yang membuat poin dari Pasal di atas yaitu Poin 6A. Poin itu membolehkan pemerintah menaikkan BBM bila harga minyak mentah dunia berfluktuasi lebih atau kurang dari 15% dari asumsi dalam 6 bulan. Ini yang kemudian menjadi masalah dalam dalam anggaran tahun ini.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, MK pernah memutus inkonstitusional pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak & Gas Bumi. Substansi pasal tersebut tidak jauh beda dengan pasal 7 ayat 6a yang menyerahkan harga ke pasar internasional. Pasal 28 Ayat 2 & ayat 3 :

(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

Menurut MK, pemerintah harus turut campur tangan dalam penentuan harga eceran BBM. Penyerahan penentuan harga eceran BBM ke pasar internasional adalah pengangkangan secara langsung terhadap konstitusi. Penambahan ayat di UU APBN-P 2012 adalah secara langsung menghina putusan MK karena dalam putusan itu secara jelas MK melarang menyerahkan harga BBM eceran ke pasar internasional.

Selanjutnya kita melihat adanya kekacauan dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan jika ada penambahan poin 6a di pasal tersebut. Karena untuk persoalan harga ini sebelumnya sudah diatur dalam UU 22 Tahun 2011 tentang Minyak & Gas Bumi. Yang kemudian dibatalkan oleh MK melalui putusannya.
Sebelumnya MK telah melarang untuk menyerahkan harga BBM ke pasar internasional karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di pasal 33 UUD 1945. Namun kenapa DPR tidak belajar dari sejarah putusan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun