Ketika kita masuk ke dalam wacana agama dan realitas keberagamaan, kita akan disuguhkan berbagai panorama kehidupan yang penuh batas, batasan, dan pembatasan. Seakan-akan agama adalah batas dan pembatas itu sendiri. Agama dijadikan legitimasi segala bentuk pelarangan, pengaturan, penghambatan, pelurusan, pendisiplinan, pengharaman, bahkan pengkafiran.
Agama juga selama ini dikonotasikan dengan dunia kepatuhan, kebiasaan, repetisi, tradisi, common sense, atau sesuatu yang taken for granted. Seakan-akan tak ada celah bagi daya kritis, interpretasi, dan kreativitas, tak ada tempat bagi trobosan, kebaruan dan inovasi, tak ada medan bagi subversi, dekontruksi dan deversifikasi. Agama diasumsikan sebuah institusi yang sangat otoriter, atau seakan-akan agama telah “dibajak” oleh beberapa orang yang mengklaim bahwa dirinya dan madhabnya saja yang paling otoritatif.
Oleh karena itu, ketika muncul gerakan alternatif agama, cara baru dalam ritual, bentuk baru dalam berdakwah, semua itu menimbulkan masalah kontradiktif, bahkan konflik, karena dianggap menunjukkan sifat ketidak tetapan, penyimpangan, abnormalitas, pelanggaran, ketidak patuhan, dan pengingkaran. Segala kebaruan itu dianggap sebagai produk angan-angan, khayalan, dan imajinasi artifisial manusia semata yang berlawanan dengan mainstream.
Diantara hal baru yang revolusioner dalam dogma agama yang kemudian menimbulkan gempa intelektual secara sistemik dan tak sedikit menuai tamparan kritik dari kelompok-kelompok otoriter dan eksklusif adalah gagasan Muhammad Shahrur (pemikir muslim asal Syiria) tentang dekontruksi rukun Islam yang ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam (Damaskus: 1996).
Sebelum lebih jauh membahas dekonstruksi rukun Islam oleh Shahur, perlu diketahui bahwa dalam membaca teks al-Qur’an, Shahrur tidak mengakui adanya sinonimitas dalam al-Qur’an. Oleh karenanya ia membedakan pengertian Islam dan Iman. Untuk membuktikan pernyataannya itu Shahrur menganalisis beberapa ayat al-Qur’an. Diantaranya pertama, QS. Al-Ahzab (33): 35, yang mengindikasikan adanya dua komunitas yang berbeda, yakni komunitas muslim laki-laki dan muslim perempuan, dan komunitas mukmin laki-laki dan mikmin perempuan:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab (33): 35).
Kemudian ayat yang dianalisis Shahrur yang Kedua adalah QS. Al-Hujurat (49): 14, yang menunjukkan bahwa nuansa ke-Islam-an lebih awal terinternalisasi dalam diri manusia sebelum datangnya nuansa keimanan:
“orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat (49): 14).
Dari ayat yang pertama (QS. Al-Ahzab (33): 35), Shahrur memberikan pendapat bahwa antara muslim dan mukmin itu berbeda, sebab di dalam QS. Al-Ahzab (33): 35, tersebut kata muslim dan mukmin disambung dengan huruf athof (kata penghubung) wau yang bererti “dan”. Hal itu menunjukkan bahwa ada perbedaan antara muslim dan mukmin. Degan demikian huruf athof (kata penghubung) wau dalam ayat tersebut berfungsi li taghyir, yakni membedakan antara yang pertama dan yang kedua. Seperti halnya contoh, Ja’a Zaidun wa Umar (Zaid dan Umar telah datang). Ungkapan kalimat tersebut menunjukkan bahwa Zaid berbeda dengan Umar. Zaid bukanlah Umar, begitupun sebaliknya.
Sedangkan dari ayat kedua (QS. Al-Hujurat (49): 14), Nabi Muhammad menyangkal pernyataan sekelompok Baduwi yang mengatakan, “Amanna” (Kami telah beriman), dengan menyuruh mereka mengatakan “aslamna” (kami telah berislam). Ini artinya bahwa orang-orang Baduwi itu belum beriman, walaupun mereka telah berislam. Hal ini menunjukan bahwa keislaman seseorang itu datang lebih dahulu dibanding keimanannya.
Bagi Shahrur, untuk menjadi muslim dalam pengertian yang luas, orang tersebut tidak harus terikat dalam agama formal yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Siapa saja yang mempunyai kepasrahan total kepada Allah dan bertauhid, percaya akan adanya hari akhir serta beramal baik, maka secara subtansial ia dapat disebut sebagai Muslim. Argumentasi Shahrur ini, selain disandarkan kepada QS. Al-Baqarah (2): 112), juga dilandasi pada konsep dekonstruksi rukun Islam yang ia gagas.