Mohon tunggu...
Raihan RabbanneeHendrawan
Raihan RabbanneeHendrawan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Raihan Rabbannee Hendrawan atau dikenal dengan Bane merupakan pria asal Indonesia yang menyukai aktivitas outdoor seperti mendaki gunung, berkemah, serta menjelajahi sungai dan garis pantai. Dia penasaran dengan budaya yang berbeda dan sering bepergian untuk belajar. Bane juga terlibat dalam kelompok bernama Climate-Hub Indonesia, dan ia mendapat banyak teman di seluruh negeri. Dia telah mencapai sesuatu yang penting di sana—dia sekarang menjadi bagian dari Kelompok Penghargaan Iklim Muda untuk tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Coca-Cola Tak Pernah Mati Gaya!

26 Juni 2025   20:57 Diperbarui: 26 Juni 2025   20:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fase Ancaman Penurunan (2000 - 2010)

Memasuki abad ke-21, Coca-Cola menghadapi tantangan besar dari perubahan pola konsumsi masyarakat. Meningkatnya kesadaran akan kesehatan membuat banyak orang mulai mengurangi konsumsi minuman tinggi gula. Laporan WHO dan berbagai media mengaitkan soda dengan obesitas dan diabetes, menyebabkan tekanan besar terhadap perusahaan (New York Times, 2009).

Selain itu, Coca-Cola juga dikritik oleh berbagai organisasi lingkungan karena penggunaan plastik sekali pakai. Menurut laporan tahunan Break Free From Plastic, Coca-Cola adalah penyumbang limbah plastik terbesar dunia selama empat tahun berturut-turut (Greenpeace, 2023).

Fase Transformasi (2010 – Sekarang)

Alih-alih tenggelam seperti Nokia atau Kodak, Coca-Cola memilih jalan yang berbeda: transformasi radikal tanpa kehilangan identitas merek. Mereka menyadari bahwa perubahan tren gaya hidup, peningkatan kesadaran kesehatan, dan tuntutan lingkungan bukanlah ancaman semata, melainkan juga peluang untuk melakukan pembaruan organisasi. Coca-Cola kemudian melakukan diversifikasi produk secara besar-besaran untuk menjangkau segmen pasar yang lebih luas dan lebih sadar kesehatan.

Salah satu tonggak perubahan penting adalah peluncuran Coca-Cola Zero Sugar, produk bebas kalori yang dengan cepat menjadi favorit konsumen muda. Mereka juga memperluas lini produk ke air mineral (seperti Dasani dan Smartwater), kopi siap minum melalui akuisisi Costa Coffee pada 2018 senilai USD 5,1 miliar (Forbes, 2022), serta memperkuat kehadirannya di sektor minuman energi melalui kolaborasi dengan Monster Beverage. Ini menandai pergeseran dari identitas "perusahaan soda" menjadi "perusahaan minuman global", sebuah redefinisi identitas yang sangat strategis.

Perubahan tidak hanya terjadi di lini produk, tetapi juga di cara Coca-Cola berkomunikasi dengan publik. Coca-Cola kini sangat aktif di platform digital seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Spotify. Kampanye mereka dirancang dengan pendekatan emosional yang menyentuh nilai-nilai generasi muda: keberagaman, gaya hidup aktif, dan kesadaran akan isu-isu global. Kolaborasi dengan brand fashion seperti KITH, Adidas, hingga desainer lokal di berbagai negara memperkuat kesan bahwa Coca-Cola adalah merek yang selalu relevan dan "ikut zaman" (Financial Times, 2024).

Namun, Coca-Cola juga sadar bahwa tantangan lingkungan bisa menjadi bumerang bagi reputasi global mereka. Selama beberapa tahun berturut-turut, Coca-Cola dinyatakan sebagai pencemar plastik terbesar dunia oleh Greenpeace dan Break Free From Plastic. Untuk mengatasi hal ini, mereka meluncurkan kampanye "Recycle Me", memproduksi botol dari 100% bahan daur ulang di beberapa negara, dan menetapkan target ambisius: 50% bahan plastik harus berasal dari rPET (recycled PET) pada 2025. Kampanye ini bukan hanya kosmetik, tapi menyentuh sisi struktural rantai pasokan mereka secara global.

Di Indonesia, Coca-Cola menjalin kemitraan strategis dengan Grab untuk mendorong sistem pengumpulan dan daur ulang botol plastik di Jabodetabek. Program ini diberi nama "Recycle Me: Reuse Your Grab", dan menargetkan untuk menjangkau jutaan konsumen di perkotaan yang akrab dengan layanan daring. Kerja sama ini menjadi contoh konkret bagaimana perusahaan besar bisa mengintegrasikan kebutuhan adaptasi teknologi, keberlanjutan, dan perilaku konsumen lokal (Kompas, 2023).

Transformasi ini mencerminkan kemampuan organisasi untuk menavigasi tekanan eksternal melalui pemanfaatan teknologi, restrukturisasi produk, dan penguatan identitas budaya organisasi yang dinamis. Dalam kacamata sosiologi organisasi, Coca-Cola telah berhasil menjalani proses perubahan struktural (struktur distribusi, lini produk, komunikasi), budaya (dari nostalgia ke keberlanjutan), serta lingkungan (dari pasif ke aktif merespons isu ekologis).

Perusahaan ini tidak hanya selamat dari disrupsi, tetapi mampu memanfaatkannya untuk membentuk ulang dirinya menjadi lebih relevan dan kompetitif. Coca-Cola membuktikan bahwa adaptasi bukan sekadar pilihan, tapi prasyarat untuk terus hidup dalam lanskap sosial dan ekonomi yang cair, berubah cepat, dan penuh tuntutan nilai-nilai baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun