"Di tengah hiruk pikuk dunia, saya menemukan jalan pulang --- bukan ke tempat, tapi ke dalam diri. Lewat lembar-lembar buku yang pelan, jujur, dan sunyi."
Dulu, saya termasuk orang yang paling malas membaca buku. Membuka satu halaman saja rasanya seperti disuruh menanggung beban seisi dunia. Baru juga mulai membaca satu dua paragraf, mata langsung berat, kepala mulai mengangguk---bukan karena mengiyakan isi buku, tapi karena kantuk yang menyerang tanpa ampun.
Sampai pada satu titik, saya bertemu dengan seseorang yang begitu mencintai buku. Setiap hari ia hadir dengan buku yang berbeda. Ia membacanya di mana pun: di kantin, di taman, bahkan saat menunggu. Saya terkesima---bukan karena judul-judul bukunya yang berat, tapi karena konsistensinya yang luar biasa. Sejak itu, benih ketertarikan saya pada buku mulai tumbuh, meskipun belum langsung berbuah.
Saya mulai meniru kebiasaannya. Buku mulai saya bawa ke mana-mana---walaupun awalnya hanya jadi properti gaya-gayaan belaka. Buku dibawa, tapi tak dibaca. Ya, minimal saya terlihat "berpendidikan" meski isinya belum saya sentuh. Tapi dari situ saya belajar satu hal bahwa memegang buku jauh lebih baik daripada tak berurusan sama sekali dengan buku. Saya teringat pepatah Arab yang begitu akrab di telinga santri seperti saya dulu, "Khairu jaliisin fi al-zamni kitbun" -- Sebaik-baik teman duduk adalah buku. Dan rupanya, dengan duduk bersama buku, perlahan saya mulai membuka diri untuk mendengarnya.
Duduk sendirian, bengong, tak tahu mau berbuat apa---daripada mengkhayal yang tidak-tidak, saya mulai membuka lembar demi lembar. Mumpung bukunya dibawa. Dan ternyata, dari membaca itulah saya pelan-pelan merasa punya teman. Teman yang tak banyak bicara, tapi mendalam. Teman yang tak menghakimi, tak memotong omongan, dan selalu sabar menunggu saya selesai membaca.
Bagi saya, buku adalah teman paling jujur. Ia tak pernah berpura-pura. Buku juga teman paling pintar, karena isinya tak hanya menyajikan informasi, tapi juga mengasah intuisi. Ia teman paling pengertian, karena tak butuh penjelasan mengapa saya datang padanya dengan perasaan campur aduk. Buku hanya diam---dan dari diamnya itu, saya merasa dimengerti.
Membaca bagi saya kini bukan hanya kegiatan untuk menambah pengetahuan. Ia seperti membuka kembali luka-luka lama secara perlahan dan lembut. Dan di saat yang sama, menyadarkan saya, "aku tidak sendiri dalam rasa sakit itu". Dulu saya sering mencari jawaban dari mulut orang, tapi kata-kata terlalu cepat, opini terlalu bising, dan semua orang ingin didengar tapi tak benar-benar mau mendengar.
Hingga saya menemukan buku---sebagai ruang sunyi yang tak menghakimi. Tempat saya duduk, diam, dan pulang ke dalam diri sendiri.
Kata orang, meditasi itu duduk diam di ruang sepi sambil menarik napas perlahan. Tapi bagi saya, meditasi adalah membaca satu paragraf penuh kesadaran. Menemani diriku sendiri, yang selama ini terlalu sering kutinggalkan.
Sekarang, di zaman serba cepat dan penuh kegaduhan ini, membaca adalah satu-satunya kegiatan yang tak bisa diburu-buru. Ia menuntut kehadiran utuh. Ia memaksa kita pelan. Dan di situlah keajaibannya: pelan-pelan, membaca menyentuh bagian-bagian jiwa yang lama kita abaikan.