Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial dan Buramnya Pengertian Cinta dan Benci

13 Desember 2017   22:15 Diperbarui: 13 Desember 2017   22:24 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : ukconstructionweek.com

Dua hari lalu saya membuka akun facebook saya. Sebelum mengecek apa saja yang ada di beranda/wall, saya mengecek daftar pertemanan yang belum sempat saya respon karena kesibukan. Maksudnya karena sibuk memperhatikan postingan-postingan orang. Saya terima salah satu permintaan pertemanan. Klik.

Kurang dari satu menit setelah menerima permintaan pertemanan itu, pesannya lewat inbox masuk. Saya mengira dia akan mengucapkan terima kasih karena sudah menerimanya menjadi teman. Atau saya kira dia akan bilang " sombong sekali kamu, masak nggak tanda teman lamanya,".

Aduh, ternyata bukan itu. Dia mengirim pesan perdana dengan kalimat pedas. Dia memaki, menuding saya antek Syiah, antek Yahudi, menuding saya selalu berbeda supaya diperhatikan, bla bla bla. "Ingat, azab Allah itu sangat pedih" demikian kalimat terakhirnya. Aduh Tuhan, ternyata dia sabar menunggu bisa berteman dengan saya hanya agar bisa mengucapkan pesan bijak ini.

Sewaktu menerima pesan itu saya sedang menikmati pagi, segelas kopi dan musik khas Pantura dengan penyanyi yang lagi booming, Nella Kharisma.

Mari kita menarik benang merah sederhana dari kasus di atas. Kita mulai dari fakta bahwa orang itu tidak kenal saya. Saya pun tidak mengenalnya. Tetapi bagaimana dia bisa dengan gencar menyampaikan kata-kata serapah kepada saya yang dia tidak kenal? Dalam istilah teknologi komunikasi, saya dan orang ini ter-konek, tetapi sebetulnya tidak terhubung. Saya dan orang ini ter-konek oleh perangkat gadget, kuota, pulsa, jaringan, tetapi tidak terhubung satu sama lain. Membahas pesannya dengan serius tentu pekerjaan yang sia-sia. Saya balas saja. " Kamu sudah sarapan? Sini, ngopi sama saya,".

Sampai di sini saya menggambarkan betapa benci, pun cinta, tidak tumbuh dengan normal di ruang media sosial kita. Saya memahami betapa benci dan cinta adalah fragmen rasa yang tentu saja tumbuh secara wajar dan periodik. Mirip-mirip cinta seseorang kepada kekasihnya. Ia mula-mula dimulai dengan perkenalan, lalu percakapan, sering bertemu, saling mengenal karakter dan kebiasaan, dan cinta bersemi. Benci juga demikian.

Media sosial memorakporandakan tahapan-tahapan itu. Di Facebook, orang bisa menjadi pembenci sebenci-bencinya kepada orang atau kelompok lain walaupun dia sama sekali tidak mengenal orang atau kelompok itu. Di Twitter, orang bisa tiba-tiba menjadi pecinta se-cinta-cintanya walaupun tidak pernah saling bertemu.

Baiklah. Cinta dan benci terkesan tidak punya karakter. Dia biasanya ada sebagai produk penggiringan semata. Satu yang benci, maka orang ramai-ramai menjadi pembenci. Satu yang cinta, maka orang ramai-ramai menjadi pemuja buta. Warga Medsos tidak punya kesempatan mengkritisi dengan baik perihal objek yang mereka cintai atau benci. Mereka larut dalam euforia benci dan cinta yang tidak berkarakter itu.

Pada tingkatan yang lebih kronis, media sosial adalah halaman tempat menyemai benih benci dan cinta pada pengertian yang diametral dan kaku. Di dalamnya sudah ada personifikasi baku untuk masing-masing warganya : hitam atau putih. Baik atau buruk. 

Misalnya kalau tidak Jokowi, pasti Prabowo. Kalau tidak Palestina, pasti Israel. Kalau tidak dukung Ustaz Somad, pasti Syiah, dan label-label lainnya. Di Medsos seakan tidak ada pilihan lain dari dua posisi diametral itu. Medsos menegasikan kompleksitas pikiran dan sikap manusia-manusianya. Atau, apakah karena ini adalah dunia maya dan tidak nyata?

Di media sosial seperti Facebook dan Twitter, warganya didominasi oleh mereka yang membangun posisi diametral : batas tegas dan kaku antara pemilik akun yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena Medsos adalah dunia maya dan bukan dunia nyata, tentu orang tidak bertemu langsung satu sama lain. 

Karena tidak bertemu dan bertatap muka langsung, maka satu-satunya cara menilai dan menginterpretasikan maksud orang lain adalah dengan membaca status atau postingannya. Postingan hanya kata yang tertulis di dinding (wall), ia tak punya intonasi. Karena itu yang akan berlaku adalah interpretasi searah.

Saya beri contoh soal pendapat-pendapatan politik yang berseliweran di linimassa. Jika seseorang memposting kritik terhadap calon A, maka besar kemungkinan ia ditafsirkan mendukung calon B atau C pada waktu bersamaan. Jika seseorang meng-upload foto calon tertentu, ia dipersepsikan atau disimpulkan sedang benci pada calon lain pada waktu bersamaan. Ini hanya sekedar contoh soal betapa sederhananya kata di dunia maya yang minus syarat-syarat lain dalam komunikasi.

Di dunia nyata dan bertemu badan, komunikasi tidak hanya soal kata. Ia juga melibatkan prasyarat lain seperti mimik, raut muka. Raut muka menentukan proses komunikasi antar person. Coba lihat orang yang pacaran, karena masing-masing membawa raut muka terbaik dipadu dengan semangat bercinta, omongan pun lancar dan mengasyikkan. Bener kan?

Dunia maya minus intonasi, dunia nyata kaya intonasi. Di dunia maya orang intonasi justru disusun oleh diri si pembaca dan juga kondisi-kondisi tertentu yang sedang dialaminya. Ini yang kemudian memberi efek tafsir tertentu terhadap kata itu. 

Orang bisa marah dan tersinggung terhadap Postingan tertentu karena cara dia membacanya "meninggi" atau memberi penekanan pengucapan terhadap kata-kata tertentu. Atau, seringkali orang marah terhadap status seseorang hanya karena ia lapar, perutnya belum terisi sejak pagi. Hehehe

Di dunia nyata, komunikasi juga ditentukan oleh yang lain, misalnya saja kopi. Kira-kira bahasanya begini, Ngobrol-ngobrol sambil seruput kopi akan membuat kita utuh memahami lawan bicara. Ingat, di dunia maya tak ada kopi, kalaupun ada itu kopi maya, kopi palsu.

Salam

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun