Mohon tunggu...
Agoeng Triadi
Agoeng Triadi Mohon Tunggu... Lainnya - PNS

I'm just an ordinary PNS, yang baru mulai belajar menulis dan menuangkan isi kepalanya melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Diet Karbon: Upaya Rakyat, Kebijakan Pemerintah

6 Oktober 2022   13:43 Diperbarui: 6 Oktober 2022   13:46 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diet karbon. Ketika mendengar kata itu, apa yang terpikir di kepala kalian? Apakah ada kaitannya dengan diet makanan? Atau...membingungkan mungkin, karena gabungan istilah kesehatan dan istilah kimia? Yang pasti, praktisi healthy lifestyle tahunya diet karbo. Itu lho, diet yang para pelakunya berusaha menjaga asupan karbohidratnya supaya tidak lebih dari 150 gram per hari. Bagaimana dengan diet karbon? Secara prinsip sih mirip. Pelaku diet karbon berusaha menjaga supaya carbon footprint yang ditinggalkannya tidak berlebihan. Aduh!! Apalagi carbon footprint? Tenang. Nanti ceritanya akan sampai kesana juga.

Jadi begini. Diet karbon itu berhubungan sama perubahan iklim. Kalau kata ilmuwan, perubahan iklim terjadi karena bertambahnya jumlah gas rumah kaca yang ada di atmosfer Bumi. Gas rumah kaca itu macam-macam jenisnya. Namun, yang paling banyak adalah gas Karbon dioksida (CO2). Persentasenya mencapai 76% dari seluruh gas rumah kaca yang ada. Memang dampaknya apa buat manusia? Kok seperti darurat kondisinya sampai mengharuskan kita diet.

Nah, kalau diet makanan, tujuannya kan menjaga kesehatan atau membuat tubuh sehat. Begitu pula dengan diet karbon. Tujuannya memulihkan "kesehatan" Bumi. Seperti diketahui, Bumi kita ini sedang "sakit". Nama sakitnya adalah perubahan iklim. Sakitnya itu mengakibatkan terjadinya berbagai fenomena dan anomali iklim. Diantaranya, kenaikan muka air laut dan banjir pesisir (rob), kenaikan suhu Bumi, meningkatnya kekeringan, meningkatnya banjir, de el el. Untuk meng-handle perubahan iklim tersebut, penyebabnya harus diurus dengan baik. Artinya, si karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer harus diminimalkan jumlahnya, dan juga sumbernya, sehingga dampak perubahan iklim dapat dikurangi.

Sekarang tentang Karbon dioksida alias CO2. Kalian tahu tidak, kalau CO2 di atmosfer sebagian besar berasal dari aktivitas manusia? Yang utama, tentu saja penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak bumi. Aktivitasnya? Dari kendaraan pribadi misalnya. Semakin banyak orang yang menggunakan kendaraan pribadi, semakin banyak CO2 yang dilepaskan ke udara. Contoh lainnya, dari pembangkit listrik. Masih banyak pembangkit listrik di Indonesia menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Semakin kita boros listrik, semakin banyak CO2 yang dihasilkan. Belum lagi industri yang sangat boros menggunakan bahan bakar fosil. Semakin banyak barang (produk industri) yang kita beli dan gunakan, semakin berlimpah ruah CO2 yang release ke udara.

Selain penggunaan bahan bakar fosil, aktivitas manusia lainnya yang menyebabkan perubahan iklim adalah pembabatan hutan. Seperti kita tahu, salah satu fungsi tanaman adalah menyerap CO2 di udara, mengubahnya menjadi karbon dan oksigen melalui proses fotosintesis. Dari fungsinya, dapat kita simpulkan kalau tanaman itu dapat mereduksi CO2. Kalo tanaman-tanaman itu hilang, lalu apa yang mau kita gunakan untuk mengurangi CO2 tersebut?

Identik dengan penggundulan hutan tadi ialah perubahan tata guna lahan. Lahan yang awalnya hutan, kebun, atau ladang pertanian lainnya, diubah menjadi kawasan permukiman atau kawasan industri dan kawasan lainnya. Ternyata, dampak perubahan tata guna lahan tersebut tidak sekedar mengakibatkan lebih banyak CO2 yang lepas ke udara, namun juga mengakibatkan fenomena urban heat island. Fenomena ini disematkan pada daerah yang semakin meningkat suhu kawasan pusat kotanya dibandingkan dengan kawasan di sekitar. Urban heat island bahkan disebut sebagai sumber utama yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Disamping fenomena tersebut, ada pula nih dampak lainnya, yaitu perubahan siklus air. Efeknya, terjadi peningkatan potensi banjir dan musim kering, peningkatan curah hujan ekstrem, hingga perubahan ekologis yang bisa mengancam produktivitas pertanian.

Dengan dampak yang ngeri-ngeri sedap itu, Indonesia seharusnya aware dong dengan realita saat ini. Apalagi Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Bayangkan! Berapa banyak pulau yang tenggelam, karena kita tidak melakukan sesuatu. Take action from now! Pemerintah segera buat kebijakan. Jalankan program diet karbon. Libatkan rakyat. Ingat, penyebab utama perubahan iklim adalah manusia. So, solusinya juga berada dalam domain manusia.

Lantas, apa saja kebijakan pengurangan karbon yang kira-kira harus diambil pemerintah? Banyak! Menurut saya ya, sebagai orang yang awam kebijakan pemerintah. Yang pertama dan utama, pemerintah kudu menghitung berapa gas rumah kaca yang dihasilkan setiap sektor pembangunan. Setelah dapat, segera tetapkan target penurunannya. Target ini dicantumkan dalam undang-undang, sehingga semua sektor akan menuruti dan berusaha memenuhi amanatnya. Contoh bagus hal ini bisa ditemukan di Inggris Raya dengan Climate Change Act-nya. Tujuan undang-undang tersebut ialah mengurangi semua emisi gas rumah kaca Inggris sebesar 80% pada tahun 2050, dibandingkan dengan tingkat 1990. Dari sini jelas, bahwa pemerintah harus mengambil kebijakan strategis yang terukur, sehingga semua sektor pembangunan dapat mulai menyesuaikan misi dan strateginya sesuai dengan amanat peraturan yang ada.

Kebijakan selanjutnya. Pemerintah wajib mendorong dan mendampingi industri untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya. Industri, dalam menjalankan bisnisnya selalu money oriented. Namun, disisi lain harus mengikuti keinginan pemerintah. Nah, untuk menurunkan emisi karbon yang dihasilkan, biasanya ada tambahan cost tersendiri. Misalnya, biaya perubahan teknologi untuk menghasilkan emisi yang lebih sedikit. Atau, biaya untuk penyesuaian rantai pasoknya, dll. Guna mengatasi berbagai masalah tersebut, perlu dikeluarkan rangkaian insentif pemerintah untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi negara. Mengingat topik mengenai industri dan green insentive ini bakal panjang, maka saya akan menuliskannya di artikel yang lain.

Selain dua hal di atas, ada lagi macam-macam kebijakan yang dapat dijalankan pemerintah. Misalnya, mengupayakan green funding untuk pembangunan infrastruktur. Yang lain, melakukan kegiatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, menyediakan energi terbarukan, perlindungan lingkungan dan ekosistem, pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta upaya-upaya lain yang dianggap signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Setelah sedikit menjelaskan kewajiban pemerintah, sekarang waktunya menjabarkan peran masyarakat. Lo kok masyarakat ikutan juga? Iyalah! Kan perubahan iklim masalah bersama. Warga perlu juga dong diet karbon. Tentu saja, untuk menyelesaikannya, butuh kerja bareng pemerintah dan masyarakat. Kalau begitu, apa saja sih yang bisa kita lakukan sebagai warga yang cinta pada tanah airnya?

Upaya pertama kita adalah mengelola sampah secara mandiri. Caranya bagaimana? Terapkan 3R (reduce, reuse, recycle). Reduce -- beli lebih sedikit barang. Belilah barang jika membutuhkan, bukan berdasar keinginan. Ingat ya, butuh tidak sama dengan ingin! Sudah punya sneakers lima pasang, tapi masih ingin beli lagi. Ini contoh yang tidak benar. Contoh lainnya, saat makan di restoran. Saat membeli, kita pesan makanan seabrek. Padahal yang dimakan cuma sedikit. Sisanya dibuang percuma ke tempat sampah. Mubazir! Sedih tidak sih kalian tahu kaya begini?

Reuse -- menggunakan kembali barang lama kita. Hanya karena misalnya celana kita sedikit robek, terus tidak kita pakai lagi. Atau parahnya, celana itu kita buang. Padahal dengan menjahit sedikit saja, barang itu bisa kita pakai lagi. Paling tidak, bisa kita berikan kepada yang lebih membutuhkan. Recycle -- mendaur ulang. Barang yang biasa didaur ulang diantaranya besi, kaca, kertas, dll. Pertanyaannya, bagaimana 3R tadi bisa menurunkan emisi gas rumah kaca? Begini gambarannya. Untuk membuat suatu barang, industri (apapun skalanya) akan berproduksi di pabriknya. Pabrik ini, akan menghasilkan polusi udara. Polusi udaranya terbagi dua macam. Gas karbon dioksida sebagai hasil bahan bakar fosil, serta gas-gas lain sebagai hasil produksi barang (bisa mengandung gas CO2, metana, atau gas lainnya). Dengan mengurangi penggunaan barang melalui metode 3R, kita berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon yang dihasilkan industri.

Cara kedua. Lakukan diet plastik! Mengapa? Satu, karena plastik diproduksi menggunakan bahan bakar fosil. Dua, karena alam butuh waktu lama untuk mengurai plastik. berapa lama? Nih, catat ya. Antara 500 -- 1000 tahun! So, hindari plastik. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk diet plastik. Kalau belanja, bawa tas belanja sendiri. Stop membeli botol air mineral. Instead, kalian bawa tumbler kalian sendiri. Bagi yang doyan beli kopi setiap hari, selalu sedia foldable cup di tasnya. Ini lebih baik daripada menggunakan gelas plastik atau gelas kertas dari warung kopinya. Selanjutnya, berhenti menggunakan sedotan plastik! Sekarang sudah banyak dijual sedotan dari kayu, besi, bambu, dll. Jadi, gunakan itu. Sediakan juga tupperware di dalam tas, daripada menggunakan food container plastik seandainya harus membeli makanan. Intinya sih, ubah lifestyle kita. Hindari penggunaan plastik sekali pakai, demi kemaslahatan lingkungan dan umat.

Berikutnya, upcycle pakaian kalian. Apa itu upcycle? Upcycle merupakan penggunaan kembali secara kreatif, yaitu proses mengubah produk sampingan, bahan limbah, produk tidak berguna, atau yang tidak diinginkan menjadi bahan baru atau produk yang dianggap memiliki kualitas lebih tinggi, seperti nilai artistik atau nilai lingkungan. Kenapa pakaian? Kalau kalian tahu yang kekinian kaya fast fashion, kalian akan mengerti alasan kenapa industri tekstil boros energi dan sumber daya. Bahkan, satu kajian menyatakan bahwa industri tersebut berkontribusi terhadap total emisi karbon global hingga hampir sepuluh persen. Huh, angka yang cukup besar ya. Karena itu, coba kalian permak baju kalian yang lama. Tambahkan asesoris. Modifikasi sedikit modelnya. Intinya sih, ubah sekreatif kalian deh. Kalau tidak mau, coba buat garage sale, tukaran baju sama teman, de el el. Pokoknya jangan sampai berakhir di TPA (tempat pemrosesan akhir) sampah atau landfill ya.

Program diet keempat. Hemat listrik! Ganti bola lampu kalian. Bisa dengan lampu CFL yang bentuknya spiral, atau lampu LED yang kekinian. Laporan resmi dari International Energy Agency menunjukkan bahwa sistem pencahayaan yang efisien (seperti LED dan CFL), dapat mencegah sekitar 16 miliar ton karbon global ditambahkan ke atmosfer dunia untuk 25 tahun ke depan. Penggunaan kedua lampu tersebut merupakan langkah untuk menghemat energi sekaligus membantu membatasi emisi gas rumah kaca. Cara lain, pasang solar panel alias panel surya di atap rumah kita. Memanfaatkan listrik dari energi matahari sangat membantu kita mengurangi tagihan listrik bulanan. Bahkan, dibeberapa tempat, mereka bebas membayar listrik karena atapnya full panel surya. Masalahnya adalah saat ini panel surya hanya dapat dibeli oleh orang kaya, karena harganya yang masih mahal. So, ini salah satu pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dibereskan.

Diet Kelima. Bijak menggunakan air. Air bersih dan air minum yang kita konsumsi sebenarnya tidak gratis. Minimal kita mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat memakainya. Air yang kita peroleh itupun, tidak serta merta "bebas dari dosa". Dosa apa? Ya dosa terhadap lingkungan. Untuk minum, misalnya kita membeli air galon. Air galon tersebut diproses di pabrik pengolahan air minum. Dalam prosesnya, pabrik tersebut memakai bahan bakar fosil. Itu satu. Yang kedua, jika air bersih kita peroleh dari PDAM, sebenarnya itu sebelas dua belas dengan pabrik air dalam kemasan. Prosesnya sama, membutuhkan bahan bakar fosil. Terakhir, air bersih yang diperoleh dari sumur. Untuk mendapatkannya, kita menggunakan pompa yang notabene butuh daya listrik yang besar. Ujung-ujungnya, kembali ke bahan bakar fosil. Terus, kita tidak boleh menggunakan air begitu? Ya, tidak begitu juga kali. Kan air kebutuhan primer manusia. Yang jadi perhatian kita adalah pemanfaatannya secara bijak. Jangan sampai dibuang-buang atau boros. Itu saja sebenarnya. Malah, lebih baik lagi jika bisa membuat Penampungan Air Hujan (PAH) di rumah kita. Air hujan yang ditampung bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman, mencuci kendaraan, bersih-bersih, dll. Selain PAH, buat sekalian sumur resapan. Jadi, air hujan yang jatuh bisa langsung terserap masuk ke dalam tanah dan berfungsi mengisi cadangan air tanah (water recharge).

Next, go paperless! Kurangi penggunaan kertas, baik di kantor maupun di sekolah. Manfaatkan teknologi informasi. Digitalisasi semua dokumen. Termasuk disini ialah paper bag dan barang-barang lain berbahan dasar kertas. Dengan meminimalkan kertas yang dipakai, berarti kita turut mengurangi jumlah pohon yang ditebang. Artinya, lingkungan lebih terjaga, serta lebih banyak gas CO2 yang dapat diserap oleh pohon. Masih terkait pohon. Tanam pohon di rumah-rumah kalian. Minimal 1 rumah 1 pohon. Menaman pohon buah lebih baik lagi. Hasil panennya bisa dimanfaatkan. Perbanyak juga berbagai tanaman, seperti sayuran organik dan tanaman obat. Dengan demikian, untuk konsumsi sayuran sehari-hari bisa diperoleh dari hasil kebun sendiri.

Ketujuh. Membuat pupuk kompos sendiri. Kompos dibuat dari sisa-sisa makanan dan bahan organik lainnya yang dibuang. Dengan membuat kompos sendiri, kita turut mereduksi jumlah limbah padat yang dibuang ke TPA. Dikarenakan TPA menghasilkan gas metana, semakin minim jumlah limbah yang masuk, semakin sedikit pula gas metana yang dilepaskan ke udara. Fyi, metana merupakan jenis gas rumah kaca yang terbanyak kedua di atmosfer setelah CO2. Metana akan memerangkap panas yang dilepaskan Bumi ke luar angkasa. Semakin tinggi kandungan metana di atmosfer, semakin meningkat suhu di Bumi ini. Kesimpulannya, mulailah mengolah sisa-sisa makanan kalian menjadi kompos. Bagaimana cara membuat kompos? Silahkan cari di mbah google. Sudah banyak literatur mengenai kompos tersebut.

Cara diet karbon terakhir. Naik transportasi umum! Alasannya simpel. Transportasi menyumbang sekitar 28% dari total emisi karbon di dunia. Angka ini ternyata bertambah terus setiap tahunnya. Jadi, yang dapat kita lakukan adalah mengubah perilaku kita dalam bertransportasi. Korbankan sedikit kenyamanan dan gengsi, then mulailah berjalan (kalau dekat), bersepeda atau naik transportasi umum. Bahkan, lebih baik jika bisa nebeng kendaraan lain yang searah dengan tujuan kita (carpool). 

Penjelasan di atas, sesungguhnya adalah aksi-aksi yang dapat kita lakukan sebagai individu untuk mengurangi emisi karbon di atmosfer. Kesemuanya merupakan bagian dari pengelolaan carbon footprint kita. Carbon footprint a.k.a. jejak carbon, merupakan  jumlah karbon atau emisi gas yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia. Semakin besar jejak karbon yang kita hasilkan, akan semakin memberikan dampak negatif bagi kehidupan kita di bumi.

Lantas, aktivitas individu apa yang besar jejak karbonnya? Yang pertama, sudah pasti memakai kendaraan pribadi. Kalau kalian mau capek-capek menghitung, ini rumusan sederhananya. Satu liter bensin menghasilkan CO2 sebesar 2,33 kg. Solar lebih besar lagi, yaitu 2,64 kg per liternya. Tinggal kalian kalikan saja, berapa rata-rata bensin yang dihabiskan sehari. Kali 1 bulan. Kali 1 tahun. Bakal kerasa deh besarnya emisi yang kalian seorang habiskan.

What's next? Tentu saja penggunaan listrik dan air yang berlebih. Tidak terasa, sehari-hari kita menggunakan bermacam alat elektronik seperti TV, AC, lampu, kulkas, mesin cuci, dll. Padahal, alat-alat tersebut membutuhkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Semakin banyak alat listrik yang dipakai, semakin besar watt listriknya, maka semakin besar pula emisi CO2 yang dihasilkan. Yang parah adalah perilaku orang-orang yang keluar ruangan, tetapi membiarkan lampu dan AC tetap menyala. Kalau cuma sejam dua jam memang tidak terasa. Coba dikalikan setahun. Wow, bakal besar sekali pemborosan yang dilakukan. Bagaimana dengan pemakaian air? Sama! Jika kita menggunakan air secara tidak bertanggung jawab. Keran lupa kita matikan. Pipa air yang bocor tidak segera kita perbaiki. Atau, bentuk kelalaian lainnya. Maka, kita turut menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca di dunia.

Aktivitas dengan jejak karbon besar terakhir ialah konsumsi makanan. Tahu tidak, salah satu makanan di meja makan kalian ternyata besar sekali emisi CO2-nya. Ya, daging sapi. Satu kilogram daging sapi, ternyata ekuivalen dengan 60 kg emisi gas rumah kaca. Kalau makanan dari tumbuhan yang tinggi emisinya yaitu coklat, dimana 1 kg setara dengan 19 kg CO2. Bagaimana mengukurnya? Yang tahu hitungannya sih para ilmuwan. Banyak faktor yang dihitung, seperti penggunaan lahannya, makanan yang diberikan, pemrosesan/produksi, distribusi/transportasi, hingga proses retail dan pengepakan.    

Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga supaya carbon footprint kita tetap kecil? Beberapa sudah dijelaskan di atas. Yang lain misalnya, mengurangi konsumsi makanan import. Utamakan bahan makanan lokal, termasuk sayur dan buah, karena lebih rendah emisinya. Lakukan hal sederhana dan jadikan kebiasaan, seperti mencabut charger handphone sehabis dipakai, matikan lampu begitu keluar ruangan, atau menyiram tanaman dengan air secukupnya. Semua hal di atas, merupakan peran yang kita sebagai individu anggota masyarakat dapat lakukan untuk membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.

Terus, apakah cukup segitu perannya? Tentu saja tidak. Kita sebagai individu, juga harus berperan di dalam masyarakat. Sebagai komunitas, masyarakat berperan penting dalam mendorong terjadinya transformasi. Dari masyarakat yang individualis, cuek, dan kurang informasi, menjadi masyarakat yang peduli dan sadar akan perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya.

Lalu, apa yang dapat dilakukan masyarakat untuk mewujudkan kampanye diet karbon? Ditingkat RW atau kelurahan, buat Program Kampung Iklim (Proklim). Proklim adalah inisiasi pemerintah untuk mewujudkan wilayah yang mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Kegiatannya apa? Bebas. Yang penting dapat berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, serta pengurangan emisi gas rumah kaca di atmosfer.

Yang mudah programnya, yaitu penghijauan. Tanam pohon semaksimal mungkin sesuai lahan yang ada. Bisa tanam di rumah, bisa di lingkungan sekitar. Syukur kalau ada lahan fasos atau fasum milik pemerintah. Kita bisa izin memanfaatkannya untuk penghijauan. Selain penghijauan, di lahan itu bisa kita jadikan juga kebun warga. Kita tanam sayuran, rempah-rempah, dan tanaman obat keluarga. Pokoknya yang menjadi kebutuhan pangan warga sehari-hari, bisa dipenuhi sebagian dari kebun warga. Keuntungannya, dengan mengkonsumsi bahan makanan yang diproduksi secara lokal, jejak karbon kalian pun akan berkurang. Demikian juga dengan menanam pohon buah dan tanaman lainnya, disamping hasilnya bisa dimakan atau dijual, juga membantu menurunkan CO2 yang ada di udara.

Selain penghijauan, Lurah atau pengurus RW dapat menginisiasi pelaksanaan bank sampah. Sampah warga yang bisa di-recycle dan di-reuse, dikumpulkan dan dijual ke pihak ketiga (pengepul sampah daur ulang). Uang hasil penjualan sampah bisa dijadikan tabungan warga, atau menambah uang kas RW untuk kegiatan lainnya. Sedangkan sampah yang berupa sisa makanan, bisa dijadikan kompos dan dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman di kebun warga.

Setelah bank sampah, program Proklim yang lain ialah pembuatan PAH dan sumur resapan. PAH atau penampung air hujan bisa dibangun secara komunal. Misalnya, setiap 10 rumah dibangun 1 bak penampung. Airnya bisa dipakai untuk berbagai kepentingan, misalnya menyiram tanaman di kebun warga. Selain PAH, pada kawasan permukiman juga perlu dibangun sumur resapan dan biopori. Tujuannya, meningkatkan jumlah air yang meresap ke dalam tanah. Untuk jangka Panjang, sumur resapan dan biopori bermanfaat saat terjadi kekeringan akibat perubahan iklim.

Hal lain yang dapat diusahakan warga masyarakat ialah memasang penerangan jalan umum tenaga surya (PJU TS). Ini merupakan lampu jalan yang bebas biaya tagihan bulanan (biayanya cuma pemeliharaan saja). Lampu jalan yang ada sekarang, listriknya masih bersumber dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dayanya yang besar, periode menyalanya yang lama (sekitar 12 jam sehari), cuma berarti satu hal. Kebutuhan listrik PJU sangat tinggi. It means, emisi CO2 dalam jumlah besar turut dilepaskan ke atmosfer.

Dari semua yang sudah dijelaskan, peran yang dapat diambil warga masyarakat, baik sebagai individu maupun kelompok, will meant nothing tanpa campur tangan pemerintah. Rakyat tidak bisa diet karbon sendiri. Pemerintah juga harus diet. Bertindak sebagai ujung tombak. Mengelola kebijakan, program, dan anggaran. Tunjukkan keseriusan. Yang utama, berikan dukungan kepada masyarakat. Bagaimana bentuknya? Tentu saja regulasi. Buat, terapkan, dan awasi pelaksanaannya. Jangan hanya buat regulasi, tapi tidak ada implementasinya. Atau, kalaupun diterapkan, tidak ada pengawasannya.

Jika bicara regulasi yang ada, contoh paling baik adalah di sektor transportasi. Pemerintah telah memfasilitasi angkutan masal, seperti BRT, MRT, LRT, dll. Angkutan masal jauh lebih ramah lingkungan daripada kendaraan pribadi. Yang masih menjadi PR pemerintah adalah penyediaan jalur khusus sepeda. Jalur khusus ini, akan mendorong masyarakat untuk mulai menggunakan sepeda sebagai sarana transportasinya.

Regulasi yang lain? Tentu saja insentif pajak. Insentif ini harus diberikan kepada produk hijau. "Green product" merupakan barang yang dalam pembuatannya lebih ramah lingkungan. Selain itu, ada pula "green technology" yang merupakan barang/teknik untuk menghasilkan energi dan/atau produk yang tidak mencemari lingkungan hidup. Contoh produk hijau adalah kayu yang memiliki Sertifikat Hutan Lestari dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Kalau teknologi hijau, misalnya panel surya untuk menghasilkan energi listrik. Dengan kebijakan insentif tadi, diharapkan produk dan teknologi hijau yang ada di Indonesia bisa menjadi murah dan terjangkau daya beli masyarakat. Akhirnya, karena menggunakan panel surya, impian masyarakat untuk bebas bayar listrik bisa terwujud.

Selain insentif, pemerintah bisa mendukung masyarakat dengan memfasilitasi berbagai kebutuhan Proklim. Misalnya, penyediaan bibit pohon untuk kebun warga, penyediaan bak untuk PAH dan sumur resapan, fasilitas composting, dsb. Satu hal harus segera diurus pemerintah, yaitu pengelolaan sampah masyarakat. Eh, ini maksudnya bukan "sampah masyarakat" yang kriminal itu ya. Ini literally benar-benar sampah yang dihasilkan masyarakat. Kalau bank sampah mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang atau digunakan kembali, ini adalah sisa sampah yang tidak termasuk kriteria recycle atau reuse tadi.

Sampah yang dikumpulkan pemerintah harus diperlakukan secara istimewa. Dalam arti dikelola lebih ramah lingkungan. Caranya bagaimana? Buat TPST RDF dan TPS WTE disetiap kota. TPST RDF atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Refused Derived Fuel merupakan tempat mengolah sampah menjadi bahan bakar setelah dilakukan pencacahan dan pengeringan. Tujuan diselengarakannya TPST RDF adalah untuk mengurangi kebutuhan lahan TPA sampah, meningkatkan kualitas lingkungan, serta menghasilkan bahan bakar alternatif penganti bahan bakar fosil (batubara). Sedangkan TPS WTE (Tempat Pengolahan Sampah Waste to Energy) adalah tempat pengolahan yang mengubah sampah menjadi energi dalam bentuk panas atau listrik. Bisa dilihat, kedua fasilitas tersebut dapat menghasilkan green product yang bermanfaat, sekaligus mereduksi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Dengan demikian, pengelolaan sampah oleh pemerintah tersebut, dapat memenuhi impian masyarakat untuk memiliki lingkungan yang bersih dan sehat.

Sebenarnya, masih banyak sekali hal-hal yang harus dan dapat dilakukan pemerintah dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca. Banyak regulasi telah dibuat, tapi terkendala dalam implementasinya. Sebagai contoh, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan. Berdasar aturan, seharusnya RTH sebesar 30% dari luas kota. Tapi, realitanya banyak kota yang RTH-nya jauh di bawah 30%. Padahal, kalau luasan RTH bisa memenuhi aturan yang ada, bisa dibayangkan bakal seberapa hijau kota kita. Betapa segar udaranya. Betapa indah dan menyenangkan, bisa mendengar suara burung dan binatang lain yang hidup bebas di RTH kota. Namun, sayangnya itu baru sebatas impian warga kota.

Karenanya, pemerintah perlu memperbaiki kinerja secara terus menerus (continuous improvement). Tidak hanya berkutat dengan evaluasi dan perbaikan kebijakan yang telah berjalan. Buat dan laksanakan kebijakan baru yang pro perubahan iklim. Di tengah-tengah masyarakat, berkembang pula inisiasi-inisiasi baru untuk men-tackle perubahan iklim. Tangkap peluang itu. Wujudkan sebagai kebijakan pemerintah.

Salah satu inisiasi masyarakat yang mulai happening adalah urban farming. Urban farming merupakan praktik budidaya, pemrosesan, dan distribusi bahan pangan di atau sekitar kota. Pertanian perkotaan juga bisa melibatkan peternakan, budidaya perairan, wanatani, dan hortikultura. Dalam arti luas, urban farming mendeskripsikan seluruh sistem produksi pangan yang terjadi di perkotaan. Manfaatnya apa? Diantaranya, memenuhi kebutuhan pangan berkualitas. Berikutnya, mengatasi keterbatasan lahan pertanian di perkotaan dengan memanfaatkan lahan yang sempit. Tempatnya bisa dimana saja, seperti di bagian atap rumah, balkon, dinding rumah (wall gardening), atau di pekarangan menggunakan penanaman hidroponik. Lokasi seperti atap kantor pemerintah atau gedung milik swasta, bisa dipakai sebagai lahan urban farming. Pemerintah tinggal mengeluarkan kebijakan yang mensyaratkan ketersediaan lahan bagi urban farming pada setiap pengajuan izin mendirikan bangunan. Manfaat lainnya, urban farming bisa menambah pasokan oksigen disekitar kita, sekaligus mengurangi CO2 di atmosfer, sehingga udara menjadi lebih bersih dan segar.

Sebetulnya, penerapan kebijakan atau program yang sudah diceritakan panjang kali lebar di atas, bukanlah barang baru. Di dunia, khususnya di negara-negara berkembang dan maju, cara mengatasi perubahan iklim selalu berkisar pada upaya mitigasi dan adaptasi. Yang membedakan adalah fokus pembangunan masing-masing negara. Setelah fokus, hal lain yang membuat perbedaan yaitu ketersediaan anggaran. Indonesia sebagai salah satu negara G-20, mudah untuk mengarahkan kebijakannya pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Yang menjadi masalah ialah ketersediaan anggaran. Jadi, mau tidak mau, kita sebagai bangsa harus memanfaatkan modal lain yang kita miliki. Jumlah penduduk dan nilai gotong royong.

Sebagus apapun kebijakan pemerintah, selama yang melakukan sebatas satu dua orang saja, bisa dipastikan tidak akan berhasil. Misalnya, kalian menanam pohon, tapi cuma dibeberapa rumah saja. Itu ibaratnya, sampai mau kiamat, udara kalian ini akan tetap tercemar. Anak zaman now bilangnya "kagak ngefek". Oleh karena itu, supaya program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terasa faedahnya, manfaatkan modal bangsa tadi.

Bagaimana strategi pemanfaatannya? Pemerintah harus melakukan pemberdayaan masyarakat. Bisa kelompok di RW, bisa menggandeng LSM lingkungan, bisa komunitas peduli lingkungan, bisa perkantoran, dll. Lakukan sosialisasi. Berikan support, insentif, atau fasilitas lainnya. Kementerian dan pemerintah daerah, harus berkolaborasi bersama masyarakat melakukan berbagai program ketahanan iklim. Dorong terus untuk secara konsisten melakukan perannya masing-masing. Semakin banyak warga masyarakat yang bergotong royong menjalankan program pemerintah, semakin besar potensinya terlaksana dengan sukses, dan semakin besar pula pengurangan emisi karbon yang terjadi.

Sebagai kesimpulan, sesuai penjelasan yang diberikan, dapat disampaikan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan. Untuk mengurangi dampak yang terjadi, jumlah CO2 yang dilepaskan ke atmosfer harus direduksi. Pengurangan tersebut hanya dapat terjadi melalui intervensi manusia. Artinya, masyarakat harus diberdayakan agar proaktif terlibat mengambil peran. Salah satu perannya, yaitu berpartisipasi dalam diet rendah karbon. Warga yang sadar mengikuti gerakan diet karbon, sedikit banyak akan mengurangi aktivitas pribadinya yang berdampak pada meningkatnya produksi CO2. Perubahan di level rumah tangga, bahkan memiliki potensi untuk mengurangi emisi jauh lebih cepat daripada kegiatan lainnya. Tentu saja hal tersebut mengingat jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang baik, harus melakukan diet karbon secara bersungguh-sungguh. Dengan upaya yang maksimal, dan dukungan kebijakan pemerintah yang luar biasa, semoga penurunan emisi gas rumah kaca bukan lagi sekedar menjadi impian rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun