Amazon Web Services menerapkan prinsip ini dengan memisahkan layanan mereka menjadi unit-unit kecil yang dapat pulih dengan cepat dari kegagalan dan mengisolasi masalah sehingga tidak memengaruhi ketersediaan sistem secara keseluruhan.
3. Fleksibilitas Teknologi
Dengan mikroservis, tim pengembang memiliki kebebasan untuk memilih teknologi yang paling sesuai untuk setiap layanan. Hal ini memungkinkan penggunaan teknologi yang optimal untuk kebutuhan spesifik, seperti menggunakan Node.js untuk operasi I/O intensif, Python untuk analisis data, atau Java untuk pemrosesan transaksi yang kompleks.
Uber memanfaatkan keunggulan ini dengan menggunakan berbagai bahasa pemrograman dan framework untuk layanan yang berbeda, sehingga dapat memaksimalkan performa dan efisiensi sistem transportasi on-demand mereka yang kompleks.
4. Deployment Berkelanjutan (Continuous Deployment)
Mikroservis mendukung penerapan praktik DevOps dan Continuous Integration/Continuous Deployment (CI/CD). Tim dapat meng-update, menguji, dan men-deploy layanan individual tanpa harus menyebarkan ulang seluruh aplikasi. Hal ini mengurangi risiko deployment dan mempercepat siklus rilis fitur baru.
Sebuah studi yang dilakukan oleh DevOps Research and Assessment (DORA) menunjukkan bahwa organisasi yang mengadopsi arsitektur mikroservis melaporkan frekuensi deployment 200 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan pendekatan tradisional.
5. Peningkatan Maintainability
Karena setiap layanan mikro memiliki codebase yang lebih kecil dan fokus pada satu fungsi bisnis, kode menjadi lebih mudah dipahami, diuji, dan dipelihara. Tim dapat melakukan perubahan dengan lebih percaya diri dan dengan risiko lebih rendah untuk memperkenalkan bug baru.
Spotify menggunakan pendekatan "Squad" di mana tim kecil bertanggung jawab penuh atas layanan mikro tertentu, meningkatkan ownership dan accountability yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kode dan produk secara keseluruhan.
Tantangan dalam Implementasi Mikroservis