Ditengah huru-hara ekonomi dunia, masih ada satu hal yang terus konsisten terjadi yakni ketimpangan. Bahkan dalam sebuah mekanisme vital seperti sistem moneter internasional. sistem ini yang konon diciptakan untuk menjaga stabilitas ekonomi global, justru kerap menjadi arena permainan yang berat sebelah. Di mana negara-negara besar menjadi wasit sekaligus pemain sedangkan negara-negara kecil terjebak sebagai penonton yang hanya "ikut aturan". Perlu diketahui bahwa sistem moneter bukan hanya soal nilai tukar dan cadangan devisa, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikan dan mengatur dibaliknya.
Dominasi Dolar
Tidak bisa dipungkiri, sistem moneter internasional hingga saat ini masih berkiblat pada dolar Amerika Serikat (USD). Sebagai reserve currency (mata uang cadangan) utama dunia, dolar bukan hanya alat tukar, namun juga simbol kuasa geopolitik. Data Data Bank for International Settlements (2023) menunjukkan bahwa 88% transaksi valuta asing (valas) global masih menggunakan USD, sementara 59% cadangan devisa disimpan dalam bentuk aset berbasis dolar. Negara-negara bahkan yang tidak bersahabat dengan AS seperti Iran dan Rusia, terjebak dalam "paradoks dolar". Mereka menolak hegemoni AS, tetapi tetap membutuhkan dolar untuk bertransaksi di pasar global.Â
Teori Kestabilan Hegemoni milik Charles P. Kindleberger (1973) menjelaskan bahwa dunia perlu satu negara hegemon untuk menyediakan barang publik. Dalam konteks sistem moneter ini dapat mengarah pada stabilitas moneter dan likuiditas. Namun, teori ini tidak memprediksi bahwa hegemon seperti AS memperoleh hak istimewa seperti seigniorage global. Dengan status dolar sebagai mata uang cadangan, AS bisa mencetak uang tanpa risiko inflasi domestik yang parah, karena permintaan global menyerap kelebihan likuiditas. Sementara itu, negara berkembang seperti Sri Lanka atau Argentina harus menanggung konsekuensi kebijakan moneter AS. Seperti kenaikan suku bunga Federal Reserve atau The Fed yang memicu pelarian modal.
Bayang-bayang Bretton Woods
Walaupun sistem Breton Woods telah runtuh pada 1971, warisannya masih hidup melalui lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF) atau World Bank. Struktur kepemilikan dan suara di lembaga ini masih mencerminkan hierarki pasca Perang Dunia II. AS memegang hak veto di IMF sebesar 16,5% disusul Tiongkok dengan 6,1% hak suara. Ironisnya negara-negara Afrika Sub-Sahara yang mewakili 14% populasi dunia hanya menguasai 1,3% suara di IMF. Ini bukan sistem multilateral, melainkan oligarki finansial yang dibungkus dalam retorika "tata kelola global".
Utang, penjara yang dilegalkan
Negara-negara berkembang saat ini menghadapi krisis utang yang kian akut. Menurut UNCTAD (2023), 54 negara berpenghasilan rendah berada diambang kegagalan membayar utang. Dengan angsuran cicilan utang luar negeri hingga 34% dari pendapatan pemerintah, angka tertinggi sejak 2000. Mengindikasikan beban utang luar negeri yang yang ditanggung semakin berat. Namun, utang bukan hanya masalah teknis, faktanya adalah instrumen kontrol politik. Saat IMF memberikan paket boilout (bantuan) selalu diikuti pemberlakuan syarat berupa liberalisasi sektor publik, penghapusan subsidi dan privatisasi BUMN. Contoh nyata terjadi di Pakistan, dimana IMF memaksa pencabutan subsidi bahan bakar meskipun inflasi sudah menyentuh 38%.Â
Disinilah teori ketergantungan (dependensi) karya Dos Santos (1970) menemukan relevansinya. Negara-negara periphery (pinggiran) masuk kedalam siklus ketergantungan struktural. Mereka meminjam dolar untuk membiayai pembangunan, tetapi fluktuasi nilai tukar dan suku bunga AS membuat utang mereka tak terkendali. Akibatnya, seperti diungkapkan Hickel (2021), negara Global South membayar $2 triliun lebih banyak ke negara Utara dalam bentuk pembayaran utang dan keuntungan investasi asing daripada yang mereka terima sebagai bantuan sejak 1980.Â
Krisis sebagai peluang