Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Digitalisasi Pendidikan: Solusi atau Ketergantungan Baru?

4 April 2025   02:19 Diperbarui: 3 April 2025   23:46 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Teknologi Menjadi Kebutuhan yang Tak Terhindarkan

Sejak revolusi digital merambah dunia pendidikan, teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses belajar-mengajar. Sekolah berlomba-lomba mengadopsi sistem pembelajaran berbasis digital, guru mulai mengandalkan platform daring, dan siswa semakin akrab dengan layar gadget sebagai sumber utama belajar.

Dulu, digitalisasi dianggap sebagai lompatan besar yang akan membuat pendidikan lebih maju, lebih mudah diakses, dan lebih efektif. Kini, setelah bertahun-tahun berjalan, kita justru dihadapkan pada realitas lain: apakah digitalisasi benar-benar menjadi solusi, atau justru menciptakan ketergantungan baru yang diam-diam melemahkan esensi pendidikan itu sendiri?

Teknologi Memudahkan, Tapi Apakah Memanusiakan?

Tidak bisa disangkal bahwa teknologi membawa manfaat besar dalam dunia pendidikan. Materi pelajaran lebih mudah diakses, metode belajar menjadi lebih variatif, dan proses administrasi pendidikan menjadi lebih efisien.

Namun, ada satu pertanyaan mendasar yang harus kita jawab: Apakah digitalisasi menjadikan pendidikan lebih baik, atau justru menjauhkan kita dari makna sesungguhnya?

Pendidikan bukan sekadar transfer informasi. Ia melibatkan interaksi manusia, pembentukan karakter, dan pengalaman yang menyentuh aspek emosional serta sosial siswa. Jika pendidikan hanya bergantung pada teknologi, apakah masih ada ruang bagi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar?

Ketika siswa lebih banyak belajar dari layar daripada dari guru dan teman-temannya, apa yang sebenarnya mereka dapatkan?

Antara Kemudahan dan Hilangnya Kemandirian

Salah satu janji besar digitalisasi adalah membuat siswa lebih mandiri dalam belajar. Namun, realitasnya justru mengarah pada ketergantungan yang semakin tinggi.

Dulu, ketika siswa menghadapi kesulitan dalam memahami suatu konsep, mereka akan berusaha mencari solusi---berdiskusi, membaca ulang materi, atau mencoba metode lain. Sekarang? Cukup ketik pertanyaan di mesin pencari, dan jawabannya langsung tersedia.

Ini mungkin terlihat seperti efisiensi, tapi apakah itu benar-benar belajar?

Ketika semua jawaban begitu mudah didapatkan, di mana letak proses berpikir kritis? Jika kebiasaan mencari solusi digantikan oleh kebiasaan mencari jalan pintas, bukankah kita justru menciptakan generasi yang tidak terbiasa berjuang memahami sesuatu?

Di sisi lain, interaksi sosial yang dulu menjadi bagian penting dari pendidikan juga semakin terkikis. Anak-anak lebih sering berhadapan dengan layar daripada berbincang langsung dengan teman atau gurunya. Kita mungkin mencetak generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi apakah mereka masih memiliki kecakapan sosial yang cukup untuk menghadapi dunia nyata?

Antara Solusi dan Ketergantungan Baru

Digitalisasi memang tak terelakkan. Teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan kita, dan pendidikan tidak bisa menutup diri dari perkembangan ini.

Tapi kita juga tidak boleh terlalu larut dalam euforia teknologi tanpa mempertanyakan dampaknya.

Apakah sekolah benar-benar menerapkan digitalisasi untuk memperbaiki pendidikan, atau hanya mengikuti tren agar terlihat modern? Apakah penggunaan teknologi benar-benar membantu siswa memahami pelajaran, atau justru menciptakan kebiasaan instan yang melemahkan daya pikir mereka?

Kita perlu menyeimbangkan antara pemanfaatan teknologi dan pembelajaran yang tetap berbasis interaksi manusia. Digitalisasi bukanlah pengganti pendidikan yang sejati---ia seharusnya menjadi alat bantu, bukan satu-satunya jalan.

Siswa tetap perlu diajarkan untuk berpikir kritis, bukan hanya mencari jawaban di internet. Guru tetap harus menjadi sosok yang membimbing dan menginspirasi, bukan sekadar operator teknologi.

Dan yang paling penting, pendidikan harus tetap memanusiakan. Jika kita membiarkan digitalisasi mengambil alih tanpa kendali, bisa jadi yang kita hasilkan bukan generasi yang lebih maju, melainkan generasi yang semakin jauh dari hakikat belajar yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun