Di sisi lain, interaksi sosial yang dulu menjadi bagian penting dari pendidikan juga semakin terkikis. Anak-anak lebih sering berhadapan dengan layar daripada berbincang langsung dengan teman atau gurunya. Kita mungkin mencetak generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi apakah mereka masih memiliki kecakapan sosial yang cukup untuk menghadapi dunia nyata?
Antara Solusi dan Ketergantungan Baru
Digitalisasi memang tak terelakkan. Teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan kita, dan pendidikan tidak bisa menutup diri dari perkembangan ini.
Tapi kita juga tidak boleh terlalu larut dalam euforia teknologi tanpa mempertanyakan dampaknya.
Apakah sekolah benar-benar menerapkan digitalisasi untuk memperbaiki pendidikan, atau hanya mengikuti tren agar terlihat modern? Apakah penggunaan teknologi benar-benar membantu siswa memahami pelajaran, atau justru menciptakan kebiasaan instan yang melemahkan daya pikir mereka?
Kita perlu menyeimbangkan antara pemanfaatan teknologi dan pembelajaran yang tetap berbasis interaksi manusia. Digitalisasi bukanlah pengganti pendidikan yang sejati---ia seharusnya menjadi alat bantu, bukan satu-satunya jalan.
Siswa tetap perlu diajarkan untuk berpikir kritis, bukan hanya mencari jawaban di internet. Guru tetap harus menjadi sosok yang membimbing dan menginspirasi, bukan sekadar operator teknologi.
Dan yang paling penting, pendidikan harus tetap memanusiakan. Jika kita membiarkan digitalisasi mengambil alih tanpa kendali, bisa jadi yang kita hasilkan bukan generasi yang lebih maju, melainkan generasi yang semakin jauh dari hakikat belajar yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI