Karakter di Atas Kertas
Setiap sekolah punya visi besar tentang pendidikan karakter. Setiap tahun, berbagai seminar membahas pentingnya membentuk generasi berakhlak mulia. Kurikulum pun dirancang dengan berbagai program penanaman nilai-nilai luhur.
Namun, di luar dokumen kebijakan dan pidato para pejabat, apa yang benar-benar terjadi?
Di ruang kelas, guru mengajarkan kejujuran, tapi ketika ujian tiba, sebagian besar siswa tetap mencari celah untuk menyontek. Sekolah mengajarkan kedisiplinan, tapi ada banyak aturan yang longgar dan hanya berlaku saat ada inspeksi. Siswa diajarkan tentang kepedulian sosial, tapi dalam praktiknya, budaya individualisme lebih mendominasi.
Jika pendidikan karakter benar-benar ditanamkan, mengapa masih begitu banyak ketimpangan moral dalam masyarakat? Mengapa sekolah lebih sibuk mengejar nilai akademik daripada memastikan bahwa lulusannya memiliki integritas?
Menghafal Karakter vs. Menghidupkan Karakter
Ada kesalahpahaman mendasar dalam cara kita mendidik karakter: seolah-olah karakter bisa diajarkan seperti pelajaran matematika atau bahasa. Siswa diminta menghafal nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan empati, lalu diuji melalui soal-soal pilihan ganda.
Padahal, karakter tidak bisa dibentuk hanya dengan memahami definisi di atas kertas. Karakter adalah sesuatu yang tumbuh dari pengalaman, dari kebiasaan yang terus-menerus dilakukan, dari lingkungan yang memberikan contoh nyata.
Tapi, realitas di sekolah justru sebaliknya. Pendidikan karakter lebih sering menjadi retorika tanpa wujud.
Di satu sisi, anak-anak diajarkan bahwa menyontek itu salah. Tapi di sisi lain, mereka melihat bahwa selama nilai bagus, semua baik-baik saja. Mereka diberi tahu bahwa kedisiplinan itu penting, tapi mereka juga menyaksikan bagaimana guru atau pejabat sekolah sering melanggar aturan sendiri. Mereka diminta berempati, tetapi justru tumbuh dalam sistem yang lebih menilai mereka sebagai angka dalam rapor daripada sebagai manusia dengan moralitas.
Keteladanan yang Hilang
Pendidikan karakter bukanlah sekadar program atau mata pelajaran tambahan, melainkan sebuah ekosistem yang harus diciptakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan.
Seorang anak lebih mudah meniru daripada mendengar nasihat. Jika mereka melihat gurunya disiplin, mereka akan belajar tentang pentingnya waktu. Jika mereka melihat orang tuanya jujur, mereka akan memahami makna integritas. Tetapi jika mereka melihat bahwa aturan hanya berlaku bagi yang lemah, bahwa kejujuran bisa dikompromikan, dan bahwa kedisiplinan hanya diterapkan ketika ada pengawasan, maka semua teori yang diajarkan di sekolah akan kehilangan maknanya.