Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Jejak Digital Anak: Apa yang Kita Wariskan di Dunia Maya?

13 Februari 2025   09:33 Diperbarui: 15 Februari 2025   21:23 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sharenting (Sumber: freepik.com/freepik)

Saat naik bus Trans Banyumas beberapa waktu lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak yang tampak gembira dan menujukkan kepada saya video kiriman dari guru SD anaknya berupa video penyerahan piala juara menari tingkat kabupaten kategori SD. Bapak ini buru-buru memposting ulang di instagram dan di status WA.

Matanya berbinar saat komentar-komentar penuh pujian berdatangan, seakan kebahagiaan anaknya kini menjadi kebahagiaan semua orang.

Namun, di balik momen hangat itu, saya bertanya-tanya: apakah anak ini kelak akan bangga dengan jejak digital yang telah dibuatkan untuknya? Apakah ia ingin dikenang dengan cara yang telah dipilihkan oleh orang tuanya? Tak lama, notifikasi komentar dan like berdatangan. Kebanggaan seorang bapak itu nyata. Namun, di balik kebahagiaan tersebut, ada pertanyaan yang menggelitik: Apakah anak ini ingin dikenang seperti ini di masa depan? Apakah dia punya kendali atas jejak digital yang sedang dibangun untuknya?

Sebagai orang tua, kita memiliki naluri untuk mengabadikan setiap momen berharga. Saya sendiri pernah merasa ingin membagikan setiap pencapaian kecil anak saya---dari langkah pertamanya hingga saat ia dengan bangga menunjukkan gambar coretan pertamanya.

Namun, kini saya mulai berpikir, apakah yang saya unggah hari ini akan menjadi kebanggaan atau justru beban bagi anak di masa depan?

Apa yang lucu bagi kita mungkin memalukan bagi mereka di masa depan. Apa yang kita anggap prestasi, bisa menjadi tekanan sosial ketika anak tumbuh dan ingin dikenal bukan hanya dari pencapaian masa kecilnya.

Refleksi: Siapa yang Berhak atas Identitas Digital Anak?

Anak-anak kita lahir di zaman yang berbeda dengan kita. Jejak mereka di dunia maya terbentuk bahkan sebelum mereka bisa menulis namanya sendiri. Seberapa banyak dari kita yang bertanya kepada anak sebelum mengunggah foto mereka? Seberapa sering kita memikirkan konsekuensi dari setiap informasi yang kita bagikan?

Ini bukan hanya soal privasi, tetapi juga bagaimana kita, sebagai orang tua, turut membentuk citra mereka di mata dunia.
Dunia digital tidak lupa. Foto, video, dan cerita yang kita unggah bisa diakses oleh orang yang tidak kita kenal, bahkan bertahun-tahun kemudian. Dunia digital tidak mengenal kata hapus total.

Antara Identitas Nyata dan Identitas Maya

Baca juga: Rumah

Ketika anak beranjak dewasa, mereka mulai membangun jati diri mereka sendiri. Namun, apa yang terjadi jika dunia sudah lebih dulu mengenal mereka dari kacamata orang tuanya? Ada anak yang dikenal sebagai 'si anak pintar lomba ini', 'si anak pemalu', atau bahkan 'si anak yang dulu pernah tantrum di mal'. Padahal, mereka berubah. Mereka berkembang. Tapi dunia maya sering kali menyimpan masa lalu yang sulit dihapus.

Ada kalanya, anak merasa identitasnya di dunia nyata tidak sesuai dengan bagaimana mereka direpresentasikan di media sosial. Inilah yang disebut dengan incoherence, ketidaksesuaian antara identitas maya dan identitas sebenarnya. Dan ketidaksesuaian ini bisa berdampak panjang---menurunkan rasa percaya diri, membentuk ekspektasi yang tidak realistis, atau bahkan membuat mereka kehilangan kendali atas narasi tentang diri mereka sendiri.

Warisan Digital: Apa yang Kita Tinggalkan?

Sebagai orang tua, kita sering berpikir tentang warisan materi bagi anak-anak kita. Tapi bagaimana dengan warisan digital? Apakah kita ingin anak-anak kita mewarisi rekam jejak yang mereka sendiri tidak bisa pilih?

Mungkin sekarang saatnya kita mengubah perspektif. Bayangkan jika kita berada di posisi anak-anak kita---apakah kita ingin masa kecil kita terdokumentasi secara permanen tanpa persetujuan kita? Apakah kita ingin dikenal dari citra yang dibentuk orang lain, bukan dari diri kita yang sebenarnya? Tidak semua momen harus dibagikan. Tidak semua kebanggaan harus diumumkan ke dunia. Ada keindahan dalam menyimpan kenangan hanya untuk keluarga, dalam ruang yang lebih pribadi dan bermakna. Mungkin anak akan lebih bahagia jika momen-momen itu tetap menjadi kenangan pribadi keluarga, yang bisa mereka kenang dengan caranya sendiri.

Lebih dari sekadar menjaga privasi, ini tentang menghormati hak anak atas dirinya sendiri. Biarkan mereka tumbuh tanpa bayangan yang kita ciptakan untuk mereka di dunia maya. Biarkan mereka menjadi diri sendiri---baik di dunia nyata maupun di dunia digital.

Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa banyak like yang mereka dapatkan hari ini, tetapi tentang kebebasan mereka dalam membentuk identitas di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun