Bahri tersungkur terjatuh dari kursi. Temaramnya kamar tak mampu menyembunyikan lelehan darah yang menetes dari pelipis Bahri.
"Tunggu hentikan!" seru Rona setengah berbisik..
"Tidak apa-apa Rona," jawab Bahri. "Bukan luka serius. Andi menahan tenaganya."
"Aku memukulmu karena kau sudah meracuni ayah angkatku, dan kutahan pukulanku karena kau membuat banyak orang jahat mati seketika. Kau hebat, aku salut kepadamu," kata Andi dengan nafas yang mulai tenang.
"Bahri apa rencanamu?" Janu bertanya, sambil tangannya mengisyaratkan agar semua duduk dan tidak berisik.
"Baiklah semuanya..." Bahri memulai. "Dua jam lagi pagi akan datang. Aku dan Rona akan pergi setelah obrolan ini. Lalu kalian Andi dan Janu pergilah ke ruang di balik resepsionis dan tunggu sampai semua penjaga tidak sabar menunggu hasil rapat."
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Andi.
"Semua orang tahu tidak ada kunci cadangan. Tapi aku yakin para penjaga tetap akan mencarinya di lemari resepsionis. Biarkan mereka melihat kalian dan biarkan mereka mendobrak Hall," Bahri terdiam sesaat, lalu melanjutkan dengan lebih pelan. "Ada dua kemungkinan yang terjadi, tetapi semuanya menguntungkan kalian, terutama kamu Andi."
"Apa maksudmu?" Andi agak kaget.
"Pintu itu didesain untuk tidak mudah didobrak dari luar. Soal kekuatan, gedung tua ini sekuat benteng. Namun, kemungkinan pertama itu bisa jadi mereka berhasil mendobraknya." Lanjut Bahri.
"Apa maksudmu dua kemungkinan?" kali ini Rona ikut penasaran.