Mohon tunggu...
Qodri azizi akbar
Qodri azizi akbar Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Dibesarkan di Bengkulu, kelahiran Jakarta, 1 juli 1997. Menulis adalah ungkapan jiwa tanpa batas, menulis adalah wujud intelektual dengan mengedepankan etika. Masih belajar dan terus berprogres.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyuarakan yang Bisu, Perampasan HAM bagi Etnis Muslim Uighur, China

25 Januari 2019   18:13 Diperbarui: 26 Januari 2019   06:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini berangkat dari kesadaran diri sebagai sesama manusia dan memiliki kebebasan mengemukakan pendapat. Sekali lagi, bahwa peristiwa keadilan HAM etnis Uighur disandra oleh sang pemilik kekuasaan dan sudah seharusnya kita yang berkesempatan bisa bersuara.

Perampasan Hak Asasi Manusia, kali ini terhadap etnis Muslim Uighur kembali terjadi, di kota Xinjiang, China. Pelanggaran HAM yang dilakukan pihak berkuasa di China bukan baru-baru ini terjadi. Sejak tahun 1990 reaksi penolakan akibat ketidakadilan hak warga negara bagi etnis Uighur telah bermunculan dan menimbulkan konflik antar pemerintah China dengan etnis Uighur.

Siapa sebenarnya etnis Uighur? Pada abad ke-20 mereka dikenal dengan Turkestan Timur karena pada dasarnya Uighur merupakan keturuanan klan Turki. Mereka adalah suku pertama pemeluk agama islam di China sebagaimana saat ini merupakan kelompok minoritas nasional. Provinsi Xinjiang adalah wilayah tempat tinggal bagi suku Uighur -- berbatasan dengan Mongolia, Kazakhstan, Pakistan, dan Russia. 

Sejak abad ke-20 Xinjiang (dulu bernama Uighur Ali) didominasi dengan suku Uighur, kemdian di bawah kekuasaan Dinasti King mengklaim wilayah tersebut sebagai daerah kekuasaan mereka. Kemudian, suku Han sebagai etnis asli China secara massal memasuki wilayah tersebut. Saat itu hanya 6.7% suku Han yang tinggal di wilayah Xinjiang, hingga pada akhirnya kebijakan pemerintahan China mengubah proporsi antara Uighur dan Han di provinsi Xinjiang berkembang menjadi 45% bagi Uygurs dan 40% bagi suku Han (Shepard W, 2015).

Namun, oleh pemerintah China dianggap bahwa suku Uighur merupakan suku potensial terhadap praktik terorisme. Sehingga, adanya upaya untuk mengubah landasan ideologis bagi suku Uighur dilakukan oleh pemerintah China. Demikian dilakukan untuk menghapus etnis Uighur dan menggantikanya dengan etnis Han, secara massif pemerintah China di bawah kekuasaan XIn Jin Ping membangun kamp menyerupai penjara di Xinjiang. Mereka klaim bahwa bangunan tersebut berfungsi untuk kegiatan pelatihan vokasi atau dikenal juga dengan re-edukasi. Saat ini telah ada 28 fasilitas dan perluasan lokasi re-edukasi hingga 2 juta meter sejak awal tahun 2018 (ABC, 2018).

Klaim bagi pemerintah China terkait "pelatihan vokasi" bagi etnis Uighur menimbulkan kecurigaan. Hal tersebut dikarenakan sulitnya akses media untuk mendapatkan informasi sebenarnya mengenai "pelatihan vokasi" akibat pengawasan yang sangat ketat dari pihak keamanan nasional. Tidak hanya itu, berbagai CCTV terpasang di berbagai sudut kota di provinsi Xinjiang. Ketertutupan pemerintah China terhadap apa yang sebenarnya terjadi mengundang keresahan bagi berbagai negara di dunia.

Usaha pemerintah China untuk menutupi fakta di balik "pelatihan vokasi" tersebut lambat laun terungkap. Warga sipil dilarang menggunakan, mengucapkan, dan melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur keagamaan Islam, maka pihak keamanan China melakukan penahanan kemudian membawanya ke lokasi kamp dimana pelanggaran HAM belangsung di dalamnya.

Sejauh informasi yang tersedia, ada sekitar 1 juta etnis Uighur warga Xinjiang yang ditahan untuk mengikuti serangkaian re-edukasi (Independent, 2018). Warga yang ditahan tidak diperbolehkan melakukan apapun yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan Islam, adanya indoktrinasi komunisme seperti menghapal dan menyanyikan lagu komunis berulang kali, dilarang menggunakan atribut Islam apapun dan berbagai kegiatan untuk mengubuah ideologi warga Ughyur untuk menggantikanya dengan paham komunis. Dilansir dari The Washington pada 7 Mei 2018 memberitakan kesaksian Kayrat Samarkand sebagai salah satu korban re-edukasi.

di sana (kamp re-edukasi), ia mengahadapi seperti pencucian otak dan kebiadaban tiada henti dan dipaksa mempelajari paham komunis selama berjam-jam setiap hari, menggunakan slogans dan memberi ucapan terima kasih dan memberikan harapan panjang umur untuk presiden Xi Jinping. Bagi mereka yang tidak taak akan perintah, maka akan dipaksa untuk berkelahi dan jika telat mengikuti studi akan diborgol selama berjam-jam. (The Washington, 2018).

Perlahan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China terkuak, namun sayangnya banyak negara terutama negara mayoritas muslim seperti Turkey, Malaysia, Pakistan, Indonesia, dan Arab Saudi memilih bungkam. Mengapa demikian? Berbagai informasi menyatakan bahwa kekuatan ekonomi China menyebabkan negara tersebut diam seribu bahasa di balik kepentingan hubungan bilateral. 

Saat ini China sedang melakukan proyek ambisius bernama Belt and Road Initiative. Proyek tersebut melibatkan banyak negara termasuk negara mayoritas muslim untuk bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur jalur perdagangan dunia. Pemerintah China memberikan investasi ekonomi dan politk untuk tujuan tersebut, sehingga negara mayortas muslim cenderung membisu. Perjanjian ekonomi bilateral bahkan multilateral dengan negara China menjadikan beberapa negara termasuk Indonesia terbatas dalam mengambil langkah mengecam kejadian pelanggaran HAM di Xinjiang yang seharusnya hal ini tidak bisa dibiarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun