Mohon tunggu...
qaswa lintang azahra
qaswa lintang azahra Mohon Tunggu... pelajar

saya adalah seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menggali Potensi Pajak Pegawai Pabrik di Era Digital Untuk Mewujudkan Kemandirian Fiskal Bangsa

27 Agustus 2025   16:28 Diperbarui: 27 Agustus 2025   16:28 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pajak adalah nadi utama dalam Pembangunan Indonesia. Dari membangun jalan tol, membiayai Pendidikan, hingga menyediakan layanan Kesehatan, semua itu berdiri di atas kontribusi rakyat melalui pajak. Data Kementerian Keuangan (2024) mencatat, 78% APBN Indonesia dibiayai oleh pajak. Artinya, keberlanjutan Pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh ketentuan wajib pajak.

Di Tengah arus digitalisasi, sektor manufakur memiliki peran strategis. Badan Pusat Statistik (2023) mencatat jumlah tenaga kerja di industri maufakur mencapai 18,5 juta orang. Jika setiap pegawai pabrik ini berkontribusi melalui pajak penghasilan (PPh 21), maka potensi penerimaan negara dari sektor ini sangat besar. Transformasi digital dalam administrasi pajak menjadi kunci agar potensi itu tidak hanya berhenti sebagai angka, melainkan benar-benar terkonversi menjadi penerimaan yang menopang kemandirian fiskal bangsa.

Dalam essai ini, penulis akan mengupas bagaimana optimalisasi pajak oegawai pabrik di era digital yang dapat mendorong masa depan penerimaan negara, dengan memadukan perspektif lintas bidang melalui Teknik cross-pollination: ekonomi, teknologi, sosiologi, hingga psikologi perilaku.

  • Pajak Penghasilan Pegawai Pabrik: Fondasi Peneerimaan Negara
  • Setiap pegawai pabrik termasuk kategori wajib pajak setiap orang pribadi yang dikenai PPh 21. Pemotongan dilakukan langsung oleh Perusahaan, sehingga penerimaan negara ini relatif lebih terjamin. Namun, dengan jumlah pekerja yang sangat besar, konsistensi pemungutan menjadi faktor kunci.
  • Bayangkan, seorang pegawai pabrik dengan gaji Rp5.000.000,00 per bulan akan dipotong PPh sesuai tarif progresif. Jika jutaan pekerja membayar pajak tepat waktu, hasilnya dapat membiayai ratusan ribu beasiswa atau Pembangunan ribuan fasilitas kesehatan. Dari kacamata ekonomi makro, inilah bentuk gotong royong modern yang menopang pembangunan bangsa.
  • Namun, kepatuhan pajak bukan hanya sekedar urusan angka. Dari perspektif psikologi sosial, rasa keadilan dan transparansi sangat memengaruhi kesadaran membayar pajak. Jika pegawai melihat pajaknya dikelola dengan baik, kepercayaan yang cukup meningkat. Maka, keterbukaan pemerintah dalam mengelola penerimaan menjadi modal usaha yang tak kalah penting.
  • Digitalisasi Administrasi Pajak: Inovasi dan Dampak Nyata
  • Transformasi digital telah mengubah wajah administrasi pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan e-Filling, e-Billing, e-Bupot, hingga Core Tax Administration System (CTAS). Dari kacamata teknologi, ini adalah lompatan efisiensi.
  • Manfaat digitalisasi yang dapat dirasakan oleh pegawai pabrik maupun perusahaan:
  • Kemudahan akses:
  • Cukup dengan internet, tanpa antre di kantor pajak
  • Efisiensi waktu dan biaya:
  • Laporan dapat dilakukan kapan saja
  • Akurasi tinggi:
  • Perhitungan otomatis mengurangi risiko salah hitung
  • Transparansi:
  • Data real-time yang dapat dipantau otoritas pajak
  • Bukti empirisnya jelas. Menurut Kemenkeu (2024), Tingkat kepatuhan wajib pajak naik menjadi 83,2% sejak pemanfaatan e-Filling. Artinya, digitalisasi bukan hanya jargon modernisasi, tetapi solusi nyata yang mendorong peningkatan penerimaan negara.
  • Jika ditarik ke perspektif manajemen industri, sistem pajak digital bisa dianalogikan sebagai penerapan sistem lean management dalam pabrik: mengurangi inefisiensi, menutup celah kesalahan, dan mempercepat alur kerja.
  • Tantangan Digitalisasi: Literasi dan Keamanan
  • Meski penuh peluang, digitalisasi pajak menghadapi kendala yang cukup serius. Pertama, literasi digital pada pegawai pabrik yang belum merata. Di beberapa daerah, akses internet terbatas sehingga pemanfaatan aplikasi pajak digital belum optimal. Kedua, isu keamanan data menjadi krusial. Pegawai harus yakin bahwa data penghasilannya tidak bocor.
  • Dari sudut pandang sosiologi digital, masalah ini berkaitan erat dengan kesenjangan akses. Tanpa pemerataan infrastruktur internet, digitalisasi justru bisa menciptakan "kasta baru" antara wajib pajak yang melek terhadap teknologi dan tidak.
  • Selain itu, masih banyak pegawai yang beranggapan bahwa pajak sepenuhnya urusan Perusahaan. Akibatnya, kesadaran melaporkan SPT tahunan secara mandiri rendah. Inilah titik di mana pendekatan psikologi perilaku yang cukup relevan: membangun nudging atau dorongan halus melalui aplikasi sederhana, notifikasi otomatis, dan gamifikasi kepatuhan pada pajak agar pegawai lebih termotivasi.
  • Peluang: Menuju Kemandirian Fiskal Indonesia
  • Di balik tantangan, digitalisasi membuka peluang besar menuju kemandirian fiskal. Dengan big data analytics, pemerintah bisa menutup celah pengindaran pajak dan memastikan pemotongan dilakukan lebih akurat.
  • Bayangkan, jika 18,5 juta pegawai pabrik seluruhnya terintegrasi dalam setiap sistem digital. Potensi kebocoran dapat ditekan, dan setiap rupiah pada pajak bisa masuk kas negara dengan presisi. Lebih jauh, integrasi data kependudukan, BPJS, dan sistem perbankan akan menciptakan ekosistem fiskal yang solid.
  • Dari kacamata teknologi keuangan (fintech), kolaborasi pemerintah dengan startup local bisa melahirkan aplikasi pelaporan pajak ramah difabel, multibahasa, dan mudah digunakan. Di sinilah cross-pollination benar benar terasa: teknologi mempermudah ekonomi, sosiologi memberi pemahaman pada konteks sosial, dan psikologi membentuk perilaku taat pajak.

Kolaborasi Digital Untuk Kedaulatan Fiskal

Sebagai penutup, esai ini telah membuktikan bahwa 18,5 juta pegawai pabrik bukan hanya tulang punggung industry, melainkan juga pilar utama kedaulatan fiskal bangsa. Optimalisasi PPh 21 mereka di era digital adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi. Melalui pendekatan cross-pollination, kita melihat bahwa solusinya tidak terletak pada suatu bidang saja. Teknologi memberikan tulang (efisiensi dan akurasi), sosiologi memberikan jantung (kdeadilan dan inklusivitas), dan psikologi memberikan ruh (motivasi dan kesadaran) bagi sistem perpajakan kita yang berkelanjutan.

Tantangan literasi dan keamanan data memang nyata, tetapi justru di situlah peluang terbesar berada. Dengan kolaborasi nyata antara pemerintah (DJP), perilaku industri, dan komunitas teknologi, kita dapat mentransformasi tantangan ini menjadi lompatan besar. Bayangkan sebuah eskosistem imana setiap pegawai pabrik, dari kota hingga ke pelosok desa, dapat membayar pajak dengan bangga, mudah, dan aman melalui gawainya. Setiap notifikasi yang mereka terima bukanlah pengingat akan kewajiban, melainkan pengingat akan kontribusi mereka untuk membangun sekolah, puskesmas, dan infrastruktur yang mereka nikmati sendiri.

Oleh karena itu, langkah strategis ke depan haruslah konkret dan terukur: pertama, mempercepat membangunan infrastruktur digital dan program literasi on-site di kawasan industri. Kedua, tingkatkan keamanan siber dan transparansi penggunaan pajak untuk membangun trust yang absolut. Ketiga, terapkan nudging dan gamifikasi dalam apalikasi oajak untuk menciptakan pengalamam membayar pajak yang positif dan memotivasi.

Pada akhirnya, memungut pajak bukanlah tentang meminta, melainkan tentang memberdayakan. Memberdayakan setiap rakyat untuk menjadi agen pembangunan melalui kontribusi yang paling demokratis. Jika seluruh potensi ini dapat digali, maka Impian untuk memiliki kemandirian fiskal yang Tangguh dan berdaulat bukanlah hanya sekedar wacana, tetapi sebuah takdir yang akan kita wujudin Bersama. Dengan semangat gotong royong digital, kita pastikan bahwa setiap tetes keringat para pekerja tidak hanya menggerakan napas pembangunan Indonesia emas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun