Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Made Wianta Memaknai Waktu di Atas Kanvas

15 Februari 2021   07:18 Diperbarui: 15 Februari 2021   07:34 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mestro Lukis Bali, Made Wiantar (hotdetik.com)

 Tak ada waktu berhenti untuk kesenian! Bekerja seni berbeda dengan bekerja biasa. Seni adalah pandangan hidup; dan saya ada di dalamnya. Bagi saya kekhusyukan adalah kerja kreatif, begitu juga sebaliknya, kerja kreatif adalah suatu kekhusyukan (Made Wianta) 

Yang patut dicatat dari perupa Made Wianta, antara lain adalah sikapnya didalam memberi makna kepada waktu. Apakah waktu demikian bermakna bagi seorang perupa baik sebagai konsep maupun pengalaman? Seribu perupa barangkali akan memiliki seribu jawaban, tapi bagi Made Wianta waktu tetaplah sesuatu yang berarti, sangat bermakna. Inilah yang menjadi alasan mengapa dia mencantumkan tahun dalam karyanya, mengikuti keaslian tahun-tahun ketika dia melukis. Dengan begitu ia merasakan setiap karya terbarunya selalu memiliki perbedaan dengan karya yang terdahulu atau yang mendatang.

Waktu mengubah cara kita berpikir. Itulah yang diyakini Made Wianta. Bersama waktu ia "Memikirkan pikiran merasakan perasaan, atau sebaliknya, merasakan pikiran memikirkan perasaan." Kutipan Made Wianta yang terkenal itu ada di pengantar dalam kumpulan puisi Korek Api Membakar Almari Es (1996).

Waktu dirasakan sebagai suatu perjalanan pengalaman hari kemarin, kini, dan esok. Made Wianta juga menganggap waktu adalah proses untuk "menjadi". Namun, ketika sebuah waktu membuatnya menjadi "ada" (to be) dan berproses di dalamnya, Made Wianta akan menjadi suntuk di sana, tak lagi sempat berpikir hal-hal yang basis, melainkan lebur dalam sebuah waktu itu.

Jika kesuntukan itu adalah proses kreativitasnya, dia kemudian tak peduli, apakah sebuah lukisan yang dibuatnya sudah selesai atau tidak. Itu tak penting bagi Made Wianta, sebab baginya hari ini telah selesai dimiliki, dan hari esok lebih penting. Menurutnya "Karena kita dapat memikirkannya lebih banyak, apapun bentuk hari esok itu adalah tugas kita untuk mencari tahu. Esok adalah waktu imajinasi dan pencarian."

Made Wianta amat permanen memikirkan dan mencari sesuatu yang baru, entah dengan membaca, bepergian, lewat alam, atau berdialog dengan berbagai tradisi yang dia jumpai. Namun, untuk benar-benar mendapatkan sesuatu, dia tak cukup hanya "mencari" ketika hanya membaca sesuatu, melainkan menyelidikinya dengan cermat dan suntuk. Ia percaya hanya dengan cara inilah ia benar-benar mendapatkan apa yang diinginkan.

"Saya tak membutuhkan waktu senggang untuk merasa eksis. Saya bekerja di manapun berada dengan teknik dan materi yang amat fleksibel." Maksud Made Wianta, dia berkarya dimanapun dia tinggal:  berkarya ditemani pepohonan, berkarya menggunakan kertas, berkarya ketika di jalanan, berkarya pada apapun yang menarik perhatiannya. "Tak ada waktu berhenti untuk kesenian! Bekerja seni berbeda dengan bekerja biasa. Seni adalah pandangan hidup: dan saya ada di dalamnya. Bagi saya kekhusyukan adalah kerja kreatif, begitu juga sebaliknya, kerja kreatif adalah suatu kekhusyukan."

Karena itu dia terus berkarya dan berkarya; dan tidak membutuhkan studio yang permanen. "Studio saya adalah di mana saya berada saat itu. Tidak ada pemisah antara ruang interior dengan eksterior. Saya tidak memerlukan studio yang konvensional. Jika saya mau memulai sesuatu, maka seketika itu saya mengekspresikannya."

Pengalaman saya mengamati kreativitas Made Wianta ---terutama mengenai soal menterjemahkan waktu--- adalah ketika saya menemaninya megikuti konsep Catur Yuga ---empat zaman menurut agama Hindu--- di Basel (kota budaya di Swiss). Proyek ini adalah salah satu perwujudan dari pengembangan hubungan seni budaya dan ilmu pengetahuan antara Bali dan Swiss. Made Wianta dan seniman Basel, Andreas Straub, mengadakan pameran sepanjang Oktober 1997 sampai dengan Maret 1998 di Museum der Kulturen Basel dan di Fabian Walter Gallery Basel.

 Bali dan Basel telah memiliki hubungan budaya sejak kurang lebih tujuh dekade yang lalu. Hubungan itu terus terjalin sejalan dengan semakin memadatnya persoalan-persoalan di seputar kebudayaan. Berbagai penelitian, workshop, pertukaran budaya di bidang ilmu dan seni, serta dialog, semakin mengukuhkan persahabatan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun