Mohon tunggu...
Putu Putri Dena Laksmi
Putu Putri Dena Laksmi Mohon Tunggu... Kepala Sekolah

Saya penggiat pendidikan yang berusaha berdampak pada pendidikan itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bertumbuh dan Berkesadaran dalam Refleksi di Era Cemas (Studi Literatur Paulo Freire: Pendidikan Kaum Tertindas)

15 Oktober 2025   23:41 Diperbarui: 15 Oktober 2025   23:41 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran diri tidak terhenti di tahap refleksi tetapi harus di refleksikan sebagai proses yang berhubungan satu sama lain secara terus menerus – Paulo Freire

Dalam era yang tanpa batas dan ketidakpastian individu bergerak dalam berbagai situasi yang menantang dan penuh gejolak. Menghadapi perubahan yang cepat, situasi yang tak terkendali serta berbagai dorongan individu untuk memenuhi hasrat tuntutan jaman dan eksistensi diri menjadikan kita terbelenggu dalam situasi yang kompleks, cemas dan rumit. Banyak kasus dalam dunia pendidikan saat ini dengan berbagai latar belakang, ragam pemantik, disfungsi elemen pendidikan dan diperparah dengan kemajuan teknologi saat ini yang mudah untuk memberikan respon melalui ujaran sehingga pada akhirnya menjadi memperkeruh situasi yang ada. Memicu terbelahnya kubu dan saling menghujat, akhirnya kita perlu mereset kembali pada pertanyaan besar apakah pendidikan kita sedang baik-baik saja?

Dalam buku Pedagology of the Opposed, yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas” Paulo banyak membicarakan kebutuhan sebuah pendidikan bagi kaum yang tertindas untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketertindasan.

Bagi penindas, mereka sama sekali tidak memonopoli untuk memiliki banyak hak istimewa yang kemudian justru menjadikan orang lain dan diri mereka sendiri tidak manusiawi. Merekalah kaum penindas yang tidak sadar bahwa melampiaskan serta mementingkan diri sendiri dalam situasi yang keruh, mereka terbelenggu oleh milik mereka sendiri dan bahwa mereka tidak punya apa-apa, mereka hanya memiliki apa yang mereka anggap benar dan berujar apa yang menurut mereka benar. Jika kita kaitkan dalam situasi yang terjadi di sosial media hal ini menjadi nyata karena semua orang memiliki pandangan, situasi, dan respon yang beragam kita berbicara pada beberapa kasus pendidikan hingga akhirnya membentuk kubu dan sudut pandang yang beragam di media sosial.  Yang tentunya hal ini dapat memicu terjadinya pemantik kaum penindas dan kaum tertindas.

Pendidikan akhirnya hadir sebagai jalan untuk memperjuangkan kembalinya kemanusiaan yang sudah dirapas kebebasannya. Pendidikan kaum tertindas wajib berjuang lawan penindasan didalam suasana dunia dan manusia dalam satu interakasi. Karena itulah harus membutuhkan praxis yang berupa proses interaksi antara refleksi dan aksi untuk meminimalisir terjadinya bentrok dan konflik kepentingan. Faktor terpenting adalah berkembangnya akan kesadaran kritis dalam pembebasan tersebut. Paulo freire menjelaskan pendidikan yang pada umumnya berkembang dalam situasi guru mengetahui segalanya dan menjadi subjek pemilik pengetahuan yang diwariskan kepada sang murid, sedangkan murid merupakan tempat deposit untuk menerima segala yang diberikan oleh guru sehingga hanya terbatas pada kegiatan untuk menerima, mencatat, dan menyimpan pengetahuan bukan pada kesadaran mengapa harus terdidik.

Merujuk pada konsientisasi menurut Paulo Freire merupakan proses kesadaran kritis yang memungkinkan individu dan masyarakat untuk memahami dan menganalisis realitas sosial, politik, dan ekonomi di sekitar mereka serta menantang ketidakadilan untuk menciptakan perubahan. Proses ini bukan hanya sekadar intelektual, tetapi juga melibatkan refleksi kritis dan aksi kolektif untuk mencapai pembebasan dan pemberdayaan.

Kita perlu menilik kembali konsep utama dari konsientisasi itu sendiri merujuk pada kesadaran kritis, praksis: aksi nyata dan refleksi, pendidikan hadap masalah (Problem-Posing Education) dan membangun dialog yang dibangun sehingga akan berdampak pada tumbuhnya kesadaran akan peran elemen dasar yakni guru dan murid di kelas, membebaskan dari penindasan, menciptakan perubahan sosial, dan membedayakan individu dan kelompok.  

  • Mulai dari membangun kesadaran kritis

Guru dapat menggugah murid lewat pemantik pertanyaan yang menyasar pada kesadaran magis dengan melihat faktor supranatural atau di luar manusia sebagai penyebab masalah. Kemudian pada kesadaran naif dengan menganggap masalah sosial disebabkan oleh kegagalan individu. Yang terakhir pancing lewat kesadaran kritis dengan memberikan murid suara untuk menganalisis akar permasalahan secara komprehensif, melihat hubungan antara sistem politik, ekonomi, dan kondisi sosial yang mungkin dihadapi.

  • Membangun praksis : Aksi dan Refleksi

Setelah terbentuk kesadaran kritis ajak murid untuk memahami konten/fenomena yang terjadi lewat kegiatan bermain peran sebagai bagian dari penyelarasan kesadaran kritis kolektif. Minta murid untuk menceritakan berbagai rasa, emosi, situasi dan respon yang dihadapi untuk merefleksi dan analisis yang harus diterjemahkan menjadi tindakan kolektif untuk mengubah realitas yang ada. Karena konsep konsientisasi tidak lengkap tanpa aksi nyata. Tanpa refleksi, aksi menjadi aktivisme buta. Tanpa aksi, refleksi hanya menjadi verbalisme atau teori kosong. Praksis adalah cara manusia bertransformasi dan mentransformasi dunia.

  • Pendidikan hadap masalah (Problem-Posing Education)

Dari aktivitas tersebut bapak dan ibu guru dapat bersama-sama menjadi ko-penyelidik realitas. Mereka menyajikan masalah (problem-posing) yang relevan dengan kehidupan nyata mereka, menganalisisnya, dan mencari solusi melalui dialog. Ini menempatkan manusia sebagai subjek aktif dalam pembelajaran dan pembebasan mereka sendiri.

  • Membangun dialog yang membangun

Terakhir bapak dan ibu guru dapat membangun dialog dua arah untuk mendapatkan membangun secara fundamental dan esensi dari pendidikan hadap masalah yang sebelumnya dilakukan. Dialog yang dibangun didasarkan pada kasih, kerendahan hati, harapan, dan iman pada kemampuan manusia lain. Pada kesempatan membangun dialog ini guru dan murid akan bertemu dalam posisi yang horizontal (setara) antara subjek yang bertujuan untuk menyingkap dan menamai dunia (word-world relationship). Melalui dialog, kaum tertindas belajar mengucapkan kata-kata mereka sendiri (to name their world), yang merupakan langkah awal menuju pembebasan dari kebisuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun