Oleh: Putu Paramita & Syamil Astari Sujud Agus
Â
Dalam dunia pariwisata modern yang kerap berorientasi pada hiburan instan dan fasilitas mewah, muncul sebuah alternatif yang justru menawarkan kesederhanaan, kedalaman makna, dan kedekatan dengan akar budaya: Indigenous Tourism. Di Indonesia, salah satu contoh paling menarik dari praktik pariwisata ini bisa ditemukan di Suku Baduy, komunitas adat di pedalaman Banten yang masih teguh menjaga kearifan lokal dan menolak modernisasi.
Â
- Â Apa Itu Indigenous Tourism?
   Indigenous Tourism atau pariwisata berbasis masyarakat adat merupakan sebuah konsep wisata yang mengajak wisatawan untuk mengalami langsung kehidupan, budaya, dan tradisi komunitas pribumi secara autentik. Tidak sekadar observasi dari kejauhan, pengunjung diajak terlibat dalam aktivitas keseharian masyarakat, memahami nilai-nilai filosofis yang dijunjung tinggi, dan melihat dunia dari sudut pandang lokal.
Pariwisata ini juga menekankan pemberdayaan komunitas, bukan eksploitasi. Masyarakat adat diberi peran utama dalam mengelola dan mengarahkan praktik wisata, sehingga mereka tidak hanya menjadi objek, tetapi juga pelaku aktif. Dampak positifnya mencakup peningkatan pendapatan, pelestarian budaya, serta penguatan identitas komunitas.
Â
- Suku Baduy: Antara Tradisi dan Tantangan
   Suku Baduy mendiami kawasan pegunungan Kendeng di Kabupaten Lebak, Banten. Secara umum, mereka terbagi menjadi dua kelompok: Baduy Dalam yang sangat tertutup dari dunia luar, dan Baduy Luar yang mulai membuka diri, meskipun tetap memegang teguh nilai adat.
Berbeda dari masyarakat modern, Suku Baduy menolak penggunaan teknologi, listrik, kendaraan, bahkan infrastruktur modern. Mereka meyakini pentingnya kehidupan yang menyatu dengan alam, dan memandang modernisasi sebagai potensi ancaman bagi keseimbangan alam serta keluhuran adat.
Konon, mereka merupakan keturunan Kerajaan Padjajaran yang memilih mengasingkan diri pasca penaklukan oleh Kesultanan Banten pada abad ke-16. Hingga kini, kehidupan mereka tetap teguh dijalani dengan prinsip "pikukuh" -- aturan adat yang menjadi pedoman dalam segala aspek kehidupan.
Â
- Pengalaman Wisata di Kampung Baduy
    Mengunjungi Baduy bukanlah sekadar liburan. Ini adalah pengalaman transformatif. Wisatawan yang datang harus mengikuti aturan adat, termasuk larangan membawa kamera atau alat elektronik ke wilayah Baduy Dalam. Tidak ada penginapan modern, sinyal ponsel, atau warung dengan kulkas dingin. Yang ada hanyalah keheningan alam, keramahan warga, dan pelajaran kehidupan yang mendalam.
Â
Â
Â
- Trekking dan Homestay Tradisional
Perjalanan ke kampung Baduy biasanya diawali dengan trekking sejauh 5--15 kilometer melewati hutan, bukit, dan sungai. Di sepanjang jalan, wisatawan bisa mengamati aktivitas agraris tradisional, rumah-rumah panggung dari kayu, dan sesekali bertemu warga yang tengah memikul hasil panen.
Pengunjung bisa menginap di rumah warga Baduy Luar yang telah sedikit beradaptasi untuk menerima tamu, meskipun tetap tanpa listrik dan kasur empuk. Malam hari biasanya dihabiskan dengan duduk di bawah pelita, mendengarkan cerita adat, atau sekadar berbagi makanan hasil kebun.
Â
- Belajar Menjadi Bagian dari Alam
   Indigenous tourism mengajak kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku. Wisatawan bisa mencoba menumbuk padi, menenun kain khas Baduy, mengambil air dari sungai, hingga belajar membuat tas koja dari serat alam.
Bagi komunitas spiritual, wilayah Baduy Dalam menjadi tempat populer untuk "puasa teknologi" dan pencarian ketenangan batin. Tradisi Seba Baduy, misalnya, menjadi momen sakral yang bisa diamati oleh pengunjung, namun tetap dengan batasan ketat agar tidak mengganggu kesakralannya.
Â
- Ekonomi dan Etika: Dua Sisi Koin Pariwisata
   Masuknya wisatawan tentu membawa dampak ekonomi positif. Banyak warga Baduy Luar kini bisa memperoleh penghasilan tambahan dari menjadi pemandu, menyewakan rumah, atau menjual kerajinan tangan seperti kain tenun, madu hutan, dan rempah-rempah lokal.
Namun, ada pula tantangan yang perlu diwaspadai. Ketimpangan ekonomi muncul ketika hanya sebagian kecil masyarakat yang merasakan manfaat pariwisata. Risiko komersialisasi budaya juga menjadi ancaman serius, terutama jika nilai-nilai adat justru dikorbankan demi keuntungan.
Â
Karenanya, pendekatan community-based tourism menjadi kunci. Masyarakat Baduy berupaya tetap menjaga kendali atas aktivitas pariwisata dengan bantuan pemerintah daerah, LSM, akademisi, hingga operator tur lokal. Tujuannya jelas: pariwisata harus sejalan dengan adat, bukan malah menggerusnya.
Â
- Â Tantangan Indigenous Tourism ke Depan
   Mengembangkan pariwisata adat bukanlah tugas mudah. Selain menjaga keseimbangan antara konservasi budaya dan kebutuhan ekonomi, pengelola juga harus memastikan adanya edukasi yang cukup bagi wisatawan. Tidak semua orang memahami bahwa tidak mengambil foto atau tidak membawa ponsel bukanlah larangan biasa, tetapi bentuk penghormatan terhadap adat yang hidup.
Â
Di sisi lain, pemerintah dan pelaku industri pariwisata juga perlu memiliki sensitivitas dan etika. Infrastruktur pariwisata tidak boleh merusak lanskap adat. Aktivitas promosi tidak boleh menggambarkan komunitas adat sebagai "eksotik yang bisa dinikmati", melainkan sebagai mitra sejajar dalam pelestarian budaya bangsa.
Â
Â
Â
- Mengapa Kita Perlu Mendukung Indigenous Tourism?
   Di tengah dunia yang serba cepat dan terdigitalisasi, Indigenous Tourism menawarkan jalan pulang ke akar. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam kesederhanaan, bahwa kearifan bisa lahir dari tradisi, dan bahwa pelestarian bisa menjadi sumber penghidupan.
Â
Lebih dari sekadar wisata, ini adalah wujud solidaritas budaya. Kita tidak datang sebagai penguasa, tetapi sebagai tamu yang belajar dan menghormati. Dengan mendukung Indigenous Tourism seperti yang dijalankan Suku Baduy, kita turut serta menjaga keberagaman budaya Indonesia dan memperjuangkan pembangunan pariwisata yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI