Mohon tunggu...
putri yasmi
putri yasmi Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya seorang dendrophile

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang untuk Healing

26 September 2025   12:11 Diperbarui: 26 September 2025   12:11 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengantar

Setiap orang punya cara sendiri untuk sembuh dari luka. Ada yang memilih bercerita, ada yang menulis, ada pula yang menghilang sejenak dari dunia. Cerpen ini terinspirasi dari perjalanan hati, tentang kehilangan, pencarian, dan menemukan kembali arti diri di tengah keheningan alam.

Cerpen 

Aku duduk di atas lantai kayu yang mulai lapuk, membiarkan tubuhku bersandar pada tiang tua yang berdiri tegak di sisinya. Angin sore berhembus pelan, menyingkap helaian hijab ku dan membawa aroma dedaunan kering. Dari tempatku duduk, pemandangan terbuka luas: langit biru, pepohonan yang menari ditiup angin, dan cahaya matahari yang menyusup di antara celah ranting.

Aku menatap jauh ke depan, seolah mencari sesuatu yang tak lagi ada.

Sejak ia pergi, hidupku seperti dipenuhi ruang kosong. Waktu seakan kehilangan ritmenya. Ada hari-hari yang terlalu panjang, ada pula yang terlalu cepat. Semua kenangan bersamanya terasa seperti bayangan: hadir, tapi tak bisa ku genggam. Aku tersenyum getir, menyadari betapa kehilangan bisa begitu nyata, padahal wujudnya tak lagi kasat mata.

Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagaimana jika justru waktu terasa melukai? Bagaimana jika setiap detik hanya menghadirkan ingatan yang lebih dalam? Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah satu: aku butuh pergi. Aku butuh menghilang, menjauh dari hiruk pikuk, dari suara-suara yang hanya menanyakan hal sama: "Kamu baik-baik saja?"

Tidak, aku tidak baik-baik saja.

Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini. Bukan untuk lari, tapi untuk mencari nafasku yang hilang.

Alam menyambut ku dengan kesederhanaan. Angin, cahaya, dan dedaunan yang berguguran, semuanya seakan berkonspirasi untuk memeluk luka yang kusimpan rapat. Aku duduk diam, membiarkan keheningan bekerja. Tak ada musik, tak ada notifikasi, hanya suara ranting yang bergesekan.

Pelan-pelan aku belajar, bahwa keheningan bukan berarti hampa. Justru di situlah aku bisa mendengar suaraku sendiri. Suara yang selama ini terkubur oleh tangis, teriakan, dan harapan yang tak pernah sampai.

Aku mulai memperhatikan sekeliling. Pohon yang tumbuh di hadapanku berdiri kokoh, meski batangnya penuh luka, bekas tergores waktu. Tapi tetap saja, ia menegakkan diri, memberi teduh, dan tidak berhenti tumbuh. Aku tersenyum kecil. Mungkin begitulah aku seharusnya. Luka bukan alasan untuk berhenti, tapi tanda bahwa aku pernah bertahan.

Aku menghela napas panjang.

"Jadi begini rasanya... hilang," bisikku pada diri sendiri.

Hilang bukan berarti tak ada. Hilang juga bukan berarti kalah. Kadang, hilang justru adalah cara terbaik untuk menemukan.

Aku mengingat wajahnya lagi. Senyum yang pernah membuatku merasa cukup hanya dengan berada di sisinya. Janji-janji yang pernah terdengar begitu indah, kini hanya tinggal gema. Ada sesak, tentu saja. Tapi entah mengapa, kali ini tidak terasa seberat kemarin.

Mungkin karena aku mulai menerima bahwa segala sesuatu di dunia ini punya masanya. Bunga mekar, lalu gugur. Matahari terbit, lalu tenggelam. Begitu juga cinta: datang, lalu bisa saja pergi. Dan ketika ia pergi, bukan berarti keindahannya ikut musnah. Keindahan itu tetap tinggal di hati, pada mereka yang pernah merasakannya.

Aku menyentuh lantai kayu di bawahku. Dingin, kasar, tapi nyata. Sama seperti hidup: tidak selalu lembut, tapi selalu ada untuk dihadapi.

Hari itu, aku membiarkan diriku menangis. Tidak keras, tidak tersedu-sedu, hanya butiran air mata yang jatuh perlahan. Tangis yang akhirnya terasa melegakan. Karena di tempat ini, di bawah rindangnya pepohonan, aku tak lagi perlu berpura-pura kuat.

Dan setelah tangis itu reda, aku tersenyum.

Bukan karena lukaku sudah sembuh, tapi karena aku tahu aku sedang berjalan ke arah itu.

"Hilang untuk healing," aku berbisik pelan.

Aku mungkin kehilangan seseorang, tapi aku menemukan diriku kembali. Dan itu, bagiku, adalah awal dari segalanya.

Penutup

Hidup selalu memberi ruang untuk luka, tapi juga memberi jalan untuk sembuh. Kadang kita perlu hilang sejenak, bukan untuk lari, melainkan untuk pulang pada diri sendiri. Karena pada akhirnya, kehilangan bukan akhir, melainkan jembatan menuju pemahaman bahwa kita tetap bisa tumbuh, meski tanpa mereka yang pernah kita genggam erat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun