Pengantar
Setiap orang punya cara sendiri untuk sembuh dari luka. Ada yang memilih bercerita, ada yang menulis, ada pula yang menghilang sejenak dari dunia. Cerpen ini terinspirasi dari perjalanan hati, tentang kehilangan, pencarian, dan menemukan kembali arti diri di tengah keheningan alam.
CerpenÂ
Aku duduk di atas lantai kayu yang mulai lapuk, membiarkan tubuhku bersandar pada tiang tua yang berdiri tegak di sisinya. Angin sore berhembus pelan, menyingkap helaian hijab ku dan membawa aroma dedaunan kering. Dari tempatku duduk, pemandangan terbuka luas: langit biru, pepohonan yang menari ditiup angin, dan cahaya matahari yang menyusup di antara celah ranting.
Aku menatap jauh ke depan, seolah mencari sesuatu yang tak lagi ada.
Sejak ia pergi, hidupku seperti dipenuhi ruang kosong. Waktu seakan kehilangan ritmenya. Ada hari-hari yang terlalu panjang, ada pula yang terlalu cepat. Semua kenangan bersamanya terasa seperti bayangan: hadir, tapi tak bisa ku genggam. Aku tersenyum getir, menyadari betapa kehilangan bisa begitu nyata, padahal wujudnya tak lagi kasat mata.
Mereka bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagaimana jika justru waktu terasa melukai? Bagaimana jika setiap detik hanya menghadirkan ingatan yang lebih dalam? Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah satu: aku butuh pergi. Aku butuh menghilang, menjauh dari hiruk pikuk, dari suara-suara yang hanya menanyakan hal sama: "Kamu baik-baik saja?"
Tidak, aku tidak baik-baik saja.
Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini. Bukan untuk lari, tapi untuk mencari nafasku yang hilang.
Alam menyambut ku dengan kesederhanaan. Angin, cahaya, dan dedaunan yang berguguran, semuanya seakan berkonspirasi untuk memeluk luka yang kusimpan rapat. Aku duduk diam, membiarkan keheningan bekerja. Tak ada musik, tak ada notifikasi, hanya suara ranting yang bergesekan.
Pelan-pelan aku belajar, bahwa keheningan bukan berarti hampa. Justru di situlah aku bisa mendengar suaraku sendiri. Suara yang selama ini terkubur oleh tangis, teriakan, dan harapan yang tak pernah sampai.