Di sisi lain, masih banyak orang tua, guru, dan bahkan pemimpin komunitas yang belum menyadari pentingnya memperhatikan sinyal awal gangguan kesehatan mental pada remaja. Kurangnya pemahaman, keterbatasan akses terhadap layanan psikologis, dan stigma sosial menjadi penghalang utama dalam penanganan isu ini.
Kesehatan mental remaja adalah krisis yang sunyi, namun sangat nyata. Tanpa penanganan yang tepat, dampaknya bisa merusak masa depan individu sekaligus mengganggu pembangunan sumber daya manusia secara nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan multi-sektor untuk mengatasi persoalan ini.
Pertama, keluarga harus menjadi ruang aman bagi remaja untuk bercerita dan mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Pendidikan emosi sejak dini penting agar anak-anak tumbuh dengan kesadaran akan kesehatan mental mereka sendiri.
Kedua, sekolah perlu menyediakan program konseling yang profesional dan terintegrasi dalam kurikulum. Guru harus diberi pelatihan untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan psikologis.
Ketiga, dunia usaha---terutama yang fokus pada generasi muda dan teknologi---harus turut ambil bagian. Ini bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran, penyediaan platform edukatif, atau bahkan integrasi fitur deteksi dini gangguan mental pada produk digital yang digunakan remaja.
Terakhir, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu memperluas akses layanan psikologis yang terjangkau dan bebas stigma. Kampanye nasional yang menormalisasi pembicaraan tentang kesehatan mental adalah langkah kunci untuk meruntuhkan tabu yang selama ini membungkam banyak suara.
Jika kita ingin membangun generasi masa depan yang produktif, kreatif, dan sehat secara holistik, maka kesehatan mental mereka harus menjadi prioritas bersama---bukan sekadar wacana musiman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI