Mohon tunggu...
Putri Ramadhani
Putri Ramadhani Mohon Tunggu... Universitas Majalengka

Saya merupakan mahasiswa semester 2 Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultan Ilmu Sosial dan Politik.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Krisis Sunyi: Statistik dan Solusi untuk Masalah Kesehatan Mental di Kalangan Remaja

13 Mei 2025   11:43 Diperbarui: 14 Mei 2025   18:34 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seseorang yang depresi. Sumber: Pinterest

Di tengah riuhnya perkembangan teknologi dan cepatnya laju kehidupan modern, banyak dari kita lupa melihat sisi yang lebih sunyi---krisis kesehatan mental yang diam-diam menjalar di kalangan remaja. Mereka yang seharusnya berada di masa paling dinamis dan penuh semangat justru banyak yang diam-diam bergumul dengan rasa cemas, depresi, dan tekanan yang tak terlihat mata. Remaja masa kini hidup dalam lanskap sosial yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya: tuntutan akademik yang tinggi, paparan media sosial yang tak pernah berhenti, serta ekspektasi dari orang tua, sekolah, dan lingkungan yang seringkali tidak realistis. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari mereka tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan, atau merasa takut dan malu untuk mengaku sedang tidak baik-baik saja. Krisis ini bersifat "sunyi" bukan karena tidak ada, tapi karena seringkali tak terdengar---baik oleh keluarga, teman, guru, maupun masyarakat secara luas.

Kisah nyata ini mencerminkan kenyataan tersebut:

Kisah Rio: Bangkit dari Depresi dan Keinginan Bunuh Diri

Rio, seorang remaja pria yang tampak ceria dan humoris, ternyata menyimpan luka mendalam akibat perundungan sejak kecil. Dijuluki dengan sebutan yang merendahkan karena tidak menyukai sepak bola, ia juga menghadapi konflik keluarga, kebangkrutan ekonomi, dan orientasi seksual yang membuatnya merasa terasing. Semua tekanan ini memicu depresi berat, kecemasan, dan gangguan makan. "Selalu ingat apa yang lo cintai dan mereka yang mencintai lo. Pikirin mereka yang mencintai lo aja. Rasa cinta itu motivasi sebenarnya," ujar Rio.

Beberapa kali, Rio mencoba mengakhiri hidupnya. Namun, titik balik terjadi ketika ia menyadari masih memiliki cinta kepada Tuhan, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Kesadaran ini memotivasinya untuk bangkit dan kini ia aktif membantu teman-teman yang mengalami depresi.

Data statistik menunjukkan bahwa gangguan mental pada remaja meningkat secara signifikan. Menurut UNICEF Indonesia (2021), satu dari tiga remaja menunjukkan gejala gangguan mental seperti stres berlebih, kecemasan, dan depresi. "Remaja menghadapi berbagai tekanan yang sering kali diabaikan karena dianggap sepele oleh orang dewasa," ujar Dr. Novi Poespita Candra, psikolog klinis dan dosen Universitas Indonesia. Ia menambahkan, "Kita harus membangun ekosistem yang mendukung kesehatan mental, sama seriusnya seperti kita menangani kesehatan fisik."

Masyarakat masih cenderung melihat isu ini sebagai aib atau kelemahan, sehingga remaja kerap menutup diri dan tidak mendapatkan bantuan tepat waktu. Padahal, jika dibiarkan tanpa penanganan, gangguan mental di usia muda dapat berdampak panjang pada kualitas hidup, prestasi akademik, hingga kesiapan menghadapi dunia kerja di masa depan.

Kesehatan mental remaja mengalami kemunduran signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), depresi adalah penyebab utama disabilitas pada remaja berusia 10--19 tahun di seluruh dunia. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa sekitar 6,1% penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, dengan prevalensi yang cenderung meningkat di kalangan remaja.

Sebuah laporan dari UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja memiliki gejala yang mengarah pada gangguan kesehatan mental, terutama akibat tekanan belajar, stigma sosial, dan paparan media sosial yang berlebihan. Lebih mencemaskan lagi, data dari Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa kasus percobaan bunuh diri pada remaja meningkat 2 kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Faktor-faktor risiko yang paling sering disebut meliputi:

  • Tekanan akademik dan persaingan nilai
  • Bullying, baik secara langsung maupun siber
  • Kurangnya komunikasi terbuka dengan keluarga
  • Kecanduan media sosial dan paparan konten negatif
  • Ketidakpastian masa depan akibat faktor ekonomi atau sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun