Mohon tunggu...
Putri Nur Alifah
Putri Nur Alifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Putri merupakan seorang praktisi di bidang pemberdayaan masyarakat yang sedang menempuh studi Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada.

Mempunyai ketertarikan pada penelitian dan pengembangan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku "Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia"

2 November 2023   10:45 Diperbarui: 2 November 2023   10:58 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Buku "Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia" membahas mengenai konflik yang terjadi pada industri kelapa sawit di Indonesia dan mengevaluasi efektivitas dari mekanisme untuk resolusi konflik yang ada. Terdapat temuan yang menunjukkan bahwa mekanisme untuk resolusi konflik yang ada saat ini tidak efektif. Masyarakat sering menghadapi kesulitan dalam mengakses mekanisme yang ada dan konflik tidak kunjung dapat terselesaikan. Dalam buku ini memberikan rekomendasi untuk memperkuat mekanisme penyelesaian konflik yaitu dengan cara pembentukan lembaga mediasi yang independen, peningkatan kapasitas lembaga pemerintah, dan perbaikan sistem pengaduan untuk Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Tiga pengaduan utama terkait konflik pada industri kelapa sawit di Indonesia, yaitu pertama mengenai perampasan lahan. Tercatat sebanyak 66 persen atau sebanyak 99 total kasus karena Perusahaan mengambil alih lahan tanpa persetujuan dari pemilik tanah. Kedua, masalah skema bagi hasil atau skema plasma tercatat sebanyak 57 persen atau 86 kasus. Pengaduan ketiga terkait pelanggaran peraturan oleh perkebunan sebanyak 21 persen atau 31 kasus (Ward Berenschot, 2023). Salah satu pengaduan dari masyarakat mengenai perampasan lahan yang mana masyarakat ingin lahan milik mereka dikembalikan dan mendapatkan kompensasi yang adil karena sudah digunakan oleh perusahaan. Banyak konflik yang muncul akibat proses yang tergesa-gesa dalam memperoleh persetujuan awal dari masyarakat. Perusahaan kelapa sawit juga menggunakan pendekatan yang tidak transparan dan kurang bijaksana, seperti memberikan hadiah kepada tokoh masyarakat atau yang mempunyai kedudukan di masyarakat untuk mendapatkan persetujuan dari mereka. Beberapa kepala desa bahkan sampai membuat sertifikat tanah palsu untuk mendapatkan tanah yang dibutuhkan untuk bisnis perusahaan. Keterlibatan para pemimpin masyarakat dan pemerintah daerah tersebut menjadikan penyelesaian konflik semakin rumit. Sebagian besar konflik yang terjadi karena masyarakat kehilangan tanah mereka tanpa persetujuan dan kompensasi yang sesuai. Praktik seperti inilah yang sering dijumpai di lapangan ketika Perusahaan mempunyai kendala dalam persetujuan masyarakat, mencari jalan pintas namun menyebabkan masalah baru muncul.

Implementasi skema plasma yang mana merupakan pembagian hasil atas tanah masyarakat yang digunakan untuk perkebunan sawit juga menjadi sumber masalah. Beberapa keluhan mengenai skema plasma yaitu tidak adanya realisasi lahan plasma dan pembagian keuntungan tidak transparan serta pelanggaran perijinan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti melakukan penanaman di luar batas konsesi dan beroperasi yang sudah disepakati. Berdasarkan data (Ward Berenschot, 2021) masyarakat sudah melakukan aksi protes, beberapa kali dilakukan demonstrasi, audiensi, blokade, penyerangan properti perusahaan, petisi, sampai ritual dan sanksi adat.

Berdasarkan data dari (Ward Berenschot, 2021), strategi aksi yang paling sering digunakan adalah demonstrasi sebanyak 76 persen dan audiensi atau dengar pendapat sebanyak 63 persen. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) turut terlibat untuk membantu masyarakat menyuarakan keluhan mereka kepada pemerintah. LSM memainkan peran penting dalam konflik kelapa sawit di Indonesia, termasuk membangun hubungan dengan jaringan LSM Nasional dan Internasional untuk membantu masyarakat menekan perusahaan dengan cara menarik perhatian media. Masyarakat yang melakukan aksi tersebut akan menghadapi intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi selama protes oleh polisi atau pasukan keamanan yang sudah diajak bekerja sama dengan perusahaan kelapa sawit untuk mengatasi masalah tersebut. Bahkan banyak pemimpin aksi yang ditangkap lalu kemudian dipenjara. Konflik di Indonesia yang melibatkan perusahaan kelapa sawit, akan lebih cepat ditangani oleh polisi dan pengadilan jika tuduhannya berasal dari Perusahaan yang menuntut tindakan aksi masyarakat.

Istilah “Kehampaan Hak” kemudian muncul sebagai wujud hilangnya hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kepentingannya. Secara de jure sebenarnya sudah terdapat peraturan untuk mendapatkan hak dan perlindungan sebagai warga negara. Namun, secara de facto atau implementasinya terdapat campur tangan kepentingan antara pelaku usaha, politisi dan birokrat yang membuat peraturan menjadi tidak mempunyai arti dan dilupakan untuk mendapatkan tujuan utama mereka. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia menurut (Locke, 1960), John Locke menyatakan bahwa setiap orang yang dilahirkan mempunyai kebebasan dan hak-hak asasi seperti hak untuk memperoleh kehidupan, kemerdekaan, dan kepemilikan. Hak tersebut dimiliki setiap manusia sejak lahir dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun termasuk Pemerintah. Hak tersebut juga tidak dapat diperjual belikan atau dicabut oleh negara dalam satu pihak terkecuali dengan persetujuan dari individu yang memilikinya. Menurut John Locke, negara hadir untuk untuk menjaga kebebasan dan hak asasi manusia yang dipunyai setiap individu. Menurut saya, masyarakat tidak menolak adanya perkebunan kelapa sawit, hanya saja mereka memperjuangkan hak asasi yang mereka punya sebagai warga negara serta mendorong Pemerintah agar membuat peraturan dan undang-undang berdasarkan pada kepentingan warga negaranya yang disebutkan dalam (Arifin, 2019).

Menurut pendapat saya, pada implementasinya masih banyak praktik-praktik pada birokrasi yang belum mengutamakan perlindungan hak-hak masyarakat, cara yang digunakan sebagai upaya pendekatan cenderung melakukan kekerasan dan pengancaman. Selain itu pemerintah jarang memberikan sanksi kepada Perusahaan yang melanggar peraturan atau kesepakatan dengan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa hak warga negara masih belum dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Sebagai contoh, memang benar di dalam undang-undang sudah terdapat ketetapan mengenai perusahaan kelapa sawit harus membagi hasil dari keuntungannya ketika terdapat tanah masyarakat yang masuk di dalam perkebunan perusahaan. Namun di lain sisi, terdapat peraturan Menteri yang memberikan celah untuk Perusahaan agar bisa menghindari kewajiban dalam undang-undang. Masalah struktural ini menyebabkan konflik perkebunan kelapa sawit masih sulit untuk diselesaikan karena terdapat otoritas negara dan kepentingan bisnis yang menjadi dominan dalam pengambilan keputusan terkait penetapan kebijakan.

Putri Nur Alifah (2023)

References:

Arifin, F. (2019). Hak Asasi Manusia; Teori, Perkembangan dan Pengaturan. Yogyakarta: Thafa Media.

Locke, J. (1960). Two Treatise of Civil Government,. London: The Aldine Press.

Ward Berenschot, A. D. (2021). Ekspansi dan Konflik Kelapa Sawit di Indonesia: Evaluasi Efektivitas Mekanisme Penyelesaian Konflik. Leiden: POCAJI.

Ward Berenschot, A. D. (2023). Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun