Mohon tunggu...
Putri Hutabalian
Putri Hutabalian Mohon Tunggu... Universitas Palangka Raya

Finance and economics enthusiast and open to opportunities in economic policy, fintech, and financial regulation.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rupiah Melemah: Alarm untuk Transformasi Ekonomi Indonesia?

2 Oktober 2025   14:14 Diperbarui: 2 Oktober 2025   14:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalimat ini sudah akrab di telinga kita: "Rupiah kembali melemah terhadap Dolar AS." Angka yang menembus Rp16.500 per Dolar pada pertengahan 2025 bukan sekadar statistik, melainkan sinyal keras tentang rapuhnya daya beli masyarakat dan ketergantungan ekonomi Indonesia pada faktor eksternal. Pelemahan ini seolah menjadi berita rutin yang muncul di media, namun sesungguhnya adalah refleksi masalah struktural ekonomi yang sudah lama mengintai. 

Dari Angka Ke Cerita Ekonomi

Grafik di atas memperlihatkan tren Rupiah yang cenderung melemah dalam empat tahun terakhir. Tahun 2021--2022, pelemahan dipengaruhi pemulihan pasca-pandemi serta pengetatan kebijakan moneter global. Pada 2023--2024, gejolak geopolitik dan fluktuasi harga komoditas memperburuk tekanan. Hingga 2025, situasi makin menantang ketika The Fed mempertahankan suku bunga tinggi untuk waktu yang lama, sementara Indonesia justru menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% (September 2025), dengan Deposit Facility turun ke 3,75% dan Lending Facility menjadi 5,50%. 

Di sisi lain, The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 bps ke level 4,00--4,25% (17 September 2025)---pemangkasan pertama dalam sembilan bulan, sebagai respons terhadap melemahnya pasar tenaga kerja AS. Meski langkah ini seolah memberi ruang bernapas, perbedaan arah kebijakan moneter antara Indonesia dan AS justru memicu keluarnya aliran modal asing, sehingga menambah tekanan terhadap Rupiah.

Dengan kata lain, grafik ini bukan sekadar garis tren yang menanjak ke arah Rp16 ribuan. Ia adalah alarm keras bahwa fondasi ekonomi kita masih rentan dan mudah goyah oleh guncangan eksternal.

Mengapa Rupiah Tertekan? 

Menyalahkan faktor global memang mudah, tetapi faktor domestik tak kalah penting. Ada tiga persoalan mendasar:

1. Defisit Transaksi Berjalan. Indonesia masih terlalu bergantung pada impor minyak, bahan baku, dan barang modal. Sementara itu, ekspor kita didominasi komoditas mentah seperti batu bara, CPO, dan nikel yang nilainya fluktuatif. Ketika harga komoditas turun, defisit membesar, permintaan dolar naik, dan Rupiah pun tertekan.

2. Ketergantungan pada Arus Modal Asing Jangka Pendek. Pasar obligasi dan saham Indonesia memang menarik bagi investor global, tetapi uang panas (hot money) ini bisa keluar sewaktu-waktu ketika imbal hasil di negara lain lebih tinggi atau situasi global memburuk. Ketika arus keluar modal terjadi, Rupiah langsung terpukul.

3. Ketidakpastian Kebijakan dan Iklim Investasi. Reformasi struktural berjalan lambat, birokrasi masih rumit, dan menjelang pemilu banyak investor lebih memilih menunggu. Akibatnya, investasi jangka panjang yang membangun kapasitas produksi tidak tumbuh optimal.

Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-Hari

Pelemahan Rupiah bukan sekadar isu pasar finansial. Dampaknya nyata, dirasakan masyarakat di berbagai lapisan:

Harga barang impor naik. Mulai dari smartphone, kendaraan, obat-obatan, hingga kedelai dan gandum. Inflasi impor ini langsung terasa di meja makan dan kebutuhan sehari-hari.

Biaya sekolah dan liburan luar negeri melonjak. Keluarga yang menyekolahkan anak di luar negeri atau merencanakan wisata harus merogoh kocek lebih dalam.

Proyek infrastruktur terganggu. Ketergantungan pada mesin dan material impor membuat biaya proyek melonjak, berpotensi menunda pembangunan atau menurunkan kualitasnya.

Beban utang luar negeri membesar. Pemerintah dan perusahaan dengan pinjaman dalam Dolar menghadapi cicilan yang lebih berat.

Dari Pemadam Kebakaran ke Arsitek Ekonomi

Langkah Bank Indonesia seperti intervensi di pasar valas dan pengaturan suku bunga penting untuk meredam kepanikan. Namun, sifatnya hanya jangka pendek. Untuk jangka panjang, diperlukan transformasi mendasar: 

Hilirisasi Ekspor. Pemerintah tidak boleh puas hanya dengan mengekspor bijih nikel, sawit mentah, atau batu bara. Industri pengolahan harus dibangun agar nilai tambah diraup penuh di dalam negeri.

Investasi Sehat. Alih-alih mengandalkan hot money, kita harus menarik Foreign Direct Investment (FDI) yang menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan memperkuat basis produksi.

Kemandirian di Sektor Strategis. Energi baru terbarukan, pertanian modern, dan industri farmasi lokal harus menjadi prioritas strategis. Ketergantungan pada impor energi dan pangan terlalu berisiko.

Gerakan Konsumsi Produk Lokal. Lebih dari sekadar slogan, konsumsi produk dalam negeri akan menekan permintaan barang impor, membantu UMKM, dan menjaga stabilitas Rupiah.

Momentum di Tengah Krisis

Pelemahan Rupiah adalah cermin masalah struktural, bukan sekadar akibat gejolak global. Angka Rp16 ribuan per Dolar AS menunjukkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita terhadap faktor eksternal. Namun, di balik tantangan selalu ada peluang.

Krisis nilai tukar ini bisa menjadi momentum introspeksi sekaligus dorongan untuk mempercepat transformasi ekonomi Indonesia. Alih-alih terus cemas dengan fluktuasi Rupiah, kita perlu membangun perekonomian yang lebih produktif, mandiri, dan tahan guncangan. Karena Rupiah yang kuat tidak lahir dari intervensi sesaat, melainkan dari fondasi ekonomi riil yang kokoh dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana oleh anak bangsa sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun