Mohon tunggu...
Putri Endahw
Putri Endahw Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah seorang mahasiswi aktif semester 6 di universitas islam negri sultan syarif kasim

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterkaitan Penetapan Kebijakan terhadap Etika dan Moral Bangsa Indonesia

23 Desember 2022   15:54 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:01 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Artikel ini di tulis oleh :Putri Endah Wulandari (12070521760), putriiendahw20@gmail.com Prodi Administrasi Negara(Fak.Ekononi dan Ilmu sosial)Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim

Dari website resmi BPHN (bphn.go.id) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022). Salah satu undang undang yang disahkan adalah pasal 603 dan 604 KUHP yang baru, mengatur sanksi pidana bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara. Pasal ini menyatakan, pelaku dihukum penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Undang undang ini banyak menuai kontrasepsi dari masyarakat Indonesia karena sebelum di tetapkannya RUU KUHP ini permasalahan mengenai sanksi pada koruptor di atur dalam UU. RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat 1 ditetapkan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar bagi masyarakat Indonesia, Karena pemerintah mengatakan bahwa dilakukannya Up-date pada KUHP bertujuan untuk memberikan perbaikan, memperbarui serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini. Lalu apakah pemerintah selama ini menilai bahwa tindak korupsi yang ada di Indonesia adalah bentuk kesesuaian terhadap politik hukum yang ada di Indonesia ? Sehingga dalam merumuskan kebijakan baru pemerintah memberikan keringanan pada tindak pidana korupsi ? atau ada faktor lain seperti adanya kepentingan pribadi yang bersinggungan kebijakan tersebut. Karena sudah jelas ini menjadi sebuah ketakutan besar masyarakat Indonesia tindak memperkaya diri sendiri yang dilakukan oleh sang KORUPTOR dapat menghambat pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat , atau lebih parahnya masyarakat akan hidup dalam jeratan negara miskin (miskin karena negara tidak akan lagi mampu mengoprasikan sektor sektor  yang menjadi pusat penghasilan kas negara ,contohnya adalah  perusahaan yang ada di dalam BUMN. Dengan begitu negara tidak akan mendapatkan pemasukan yang cukup untuk mensejahterakan rakyatnya )

RUU KUHP dianggap memberikan ancaman pidana yang terlalu ringan dan tak memberikan efek jera pada koruptor. Seharusnya dalam tahapan formulasi kebijakan ada beberapa hal yang harus di perhatikan yaitu :

  • Identifikasi masalah kebijakan
  • Penyusunan agenda
  • Perumusan kebijakan
  • Pengesahan kebijakan
  • Implementasi kebijakan
  • Evaluasi kebijakan.

Pada tahap ini seharusnya pemerintah sudah melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sudah ada sehingga dapat di lihat bagaimana kebijakan tersebut dapat mempengaruhi orang orang yang berkaitan dengan kebijakan tersebut .Lalu apabila ternyata kebijakan tersebut tidak berlaku sesuai tujuan dari penetapannya maka dari hasil evaluasi ini dapat di tetapkan identifikasi masalah dalam kebijakan harus di perbaruhi , dalam kasus ini kebijakan terhadap pemberantasan tipikor tidak sesuai dengan tujuan awal di tetapkannya kebijakan ini karena masih banyak pelaku tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia dan dapat merugikan negara hal ini menjadi patokan bahwa seharusnya sanksi pada pelaku tipikor harus lebih berat agar dapat menjadi pertimbangan oleh pelaku sebelum melakukan  tipikor.

Lalu dimanakah keterkaitan etika dengan kebijakan administrasi? Dalam konteks ini yang menjadi sasaran bukan kebijakan tetapi orang yang membuat kebijakan. Perlu di ketahui bahwa etika administrasi negara berbanding lurus dengan integritas, dalam birokrasi, etika digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Kemudian bagaimana dalam membuat kebijakan saja pemerintah tidak lagi mengedepankan kepentingan umum? Pada dasarnya pemerintah seharusnya memberi pelayanan kepada masyrakat dan orang orang yang telah di pilih oleh masyarakat sebagai perwakilan suara meraka seharusnya dapat menjadi penghubung yang baik antara rakyat dan kebijakan bukan malah mengedepankan kepentingan pribadi . Jika pemimpin yang di berikan kewenangan saja tidak lagi mampu untuk mengayomi masyarakatnya bagaimana Indonesia akan menjadi negara yang maju dan sejahtera

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun