Mohon tunggu...
noname
noname Mohon Tunggu... Mahasiswi

if it doesn't challenge you, it won't change you

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penerapan Konsep Doughnut Economy dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

28 April 2025   11:59 Diperbarui: 28 April 2025   11:59 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia dihadapkan pada tantangan besar berupa krisis iklim dan ketimpangan sosial yang semakin akut. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan ukuran utama keberhasilan pembangunan ternyata membawa dampak serius terhadap keberlanjutan ekosistem bumi. Fenomena perubahan iklim, kerusakan lingkungan, serta ketidakadilan distribusi kekayaan menjadi konsekuensi nyata dari model ekonomi konvensional yang berorientasi pada pertumbuhan tak terbatas. Di tengah urgensi untuk mencari alternatif, konsep Doughnut Economy yang diperkenalkan oleh ekonom Kate Raworth (2017) menawarkan kerangka baru untuk memahami kesejahteraan manusia dalam batasan ekologis planet.

Doughnut Economy memvisualisasikan ruang aman dan adil bagi umat manusia sebagai area di antara dua batas: dasar sosial yang harus dipenuhi untuk menjamin kesejahteraan, dan batas ekologis yang tidak boleh dilanggar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Model ini menekankan perlunya pembangunan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tetapi juga mengutamakan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, Doughnut Economy menjadi sangat relevan dalam merespons tantangan global saat ini, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan populasi yang besar, menghadapi dilema serius antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan. Di satu sisi, kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih menjadi prioritas, namun di sisi lain, tekanan terhadap sumber daya alam dan ekosistem terus meningkat. Laporan dari Global Forest Watch (2024) mencatat bahwa Indonesia masih kehilangan jutaan hektar hutan tropis setiap tahun, sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ketimpangan ekonomi yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak lagi menjadi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Penerapan prinsip-prinsip Doughnut Economy menawarkan jalan keluar dengan menyeimbangkan kebutuhan manusia dan batasan ekologis. Namun, implementasi konsep ini di Indonesia tentu tidak lepas dari berbagai tantangan, mulai dari hambatan struktural, budaya, hingga teknologis. Di tengah situasi ini, penting untuk menelaah lebih dalam mengenai bagaimana Doughnut Economy dapat diadaptasi dalam konteks Indonesia, apa saja tantangan yang harus dihadapi, serta harapan dan peluang yang dapat diraih untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Doughnut Economy merupakan kerangka berpikir alternatif dalam teori pembangunan ekonomi yang diperkenalkan oleh ekonom asal Inggris, Kate Raworth, dalam bukunya Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist (2017). Model ini berupaya mendobrak paradigma ekonomi tradisional yang selama ini hanya berfokus pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memperhatikan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.

Secara visual, konsep ini digambarkan seperti sebuah donat (doughnut), yang terdiri dari dua batasan utama:  

1. Dasar Sosial (Social Foundation):  

   Merupakan lapisan dalam dari doughnut yang mencakup kebutuhan minimum manusia, seperti akses terhadap pangan, air bersih, pendidikan, kesehatan, perumahan layak, serta keadilan sosial. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar ini menyebabkan kekurangan dan kesenjangan sosial.

2. Batas Ekologis (Ecological Ceiling):  

   Merupakan lapisan luar dari doughnut yang menunjukkan batas-batas lingkungan yang tidak boleh dilampaui, berdasarkan konsep planetary boundaries yang dikembangkan oleh Rockstrm et al. (2009). Pelanggaran batas ini akan menyebabkan kerusakan serius terhadap bumi, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran udara serta air.

Ruang di antara dasar sosial dan batas ekologis inilah yang disebut sebagai zona aman dan adil bagi umat manusia, di mana kebutuhan semua orang dapat terpenuhi tanpa mengorbankan kesehatan planet ini. Model ini mengubah tujuan utama ekonomi dari sekadar bertumbuh menjadi berkembang (thriving), dengan mempertimbangkan keseimbangan antara manusia dan bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun