"Kek, ini pesan makanannya juga dari aplikasi. Bahkan bisa pre-order waktu beli tiket."
"Ya Allah... zaman sekarang kok enak tenan ya."
Beliau menggeleng-geleng takjub, lalu melirik ke sisi kursi.
"Ini apaan, Nduk?"
"Itu colokan listrik, Kek. Buat ngecas HP."
"Walah, kereta sekarang enggak cuma bikin nyaman, tapi juga bikin HP nggak mati gaya."
Setelah makan, aku mengajaknya jalan sebentar ke gerbong restorasi. Kami duduk di sana menikmati udara yang segar dan suasana tenang. Di sisi lain jendela, langit mulai menguning. Sore menjelang malam.
Di tengah keheningan, kakek berkata lirih.
"Kakek dulu naik kereta buat kerja. Buat cari uang. Tapi baru kali ini, kakek naik kereta untuk benar-benar menikmati perjalanan."
Kalimat itu menghantamku. Aku memandang wajahnya yang mulai keriput, matanya yang penuh pengalaman, dan merasa bersyukur bisa berbagi momen ini.
Menjelang pukul tujuh malam, kereta akhirnya tiba di Stasiun Gambir. Kakek menggenggam tanganku saat kami menuruni tangga.
"Nduk," katanya pelan, "Kakek salah. Dulu kakek pikir kemajuan itu bikin orang jadi makin jauh. Ternyata enggak. Sekarang kita bisa makin dekat, karena perjalanan jadi lebih nyaman dan berkesan."
Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku tahu, ini bukan sekadar perjalanan dari Madiun ke Jakarta. Ini perjalanan dua generasi, yang akhirnya bertemu di tengah: antara cerita lama dan teknologi baru. Antara kenangan dan harapan.