Saat kami tiba di Stasiun Madiun, kakek mulai menunjukkan raut heran. Stasiun yang dulu ia kenal sebagai tempat gaduh dan berdebu, kini tampak modern, bersih, dan tertib.
"Stasiunnya sekarang keren ya, Nduk. Ada AC-nya... petugasnya juga rapi semua."
Aku menunjukkan QR code dari KAI Access kepada petugas boarding. Kakek melongo saat melihat kami langsung bisa masuk tanpa harus menunjukkan tiket fisik.
"Lho... kok enggak pake karcis? Dulu harus antre cetak dulu."
Aku hanya tertawa. "Kek, sekarang semuanya sudah digital."
Begitu masuk ke dalam gerbong, mata kakek menyapu seluruh ruangan: kursi empuk berlapis kulit, lantai bersih mengilap, AC yang sejuk, dan jendela lebar yang memamerkan sawah dan bukit di kejauhan.
Beliau duduk perlahan, menekan tombol sandaran, dan mendapati kursinya bisa direbahkan.
"Waduh... ini beneran kereta, Nduk? Dulu kakek duduknya cuma kursi kayu. Nggak bisa nyender, apalagi selonjoran."
Ia terus membandingkan kereta masa kini dengan yang dulu. Baginya, ini seperti naik waktu, bukan naik transportasi.
Setelah kereta mulai melaju, kakek mulai bercerita. Tentang betapa dulu ia merantau ke Surabaya dengan naik kereta barang, menyelip di balik karung-karung padi. Tentang saat ia mudik demi bertemu nenekku sebelum menikah. Tentang bagaimana kereta dulu mengajarkannya arti sabar dan pulang yang tak selalu mudah.
Lalu, tiba-tiba pramugari datang menawarkan makanan. Kakek memilih nasi rendang dan aku memesan teh hangat. Kami makan di kursi masing-masing sambil menatap pemandangan yang berganti-ganti.