Mohon tunggu...
PUTRA CHANIAGO
PUTRA CHANIAGO Mohon Tunggu... Dosen - Langkahmu akan berat, jiwamu harus kuat, tapi aku percaya langkahmu akan jaya. kuatkan pribadimu!

Merantau Ke Jogja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Minangkabau

4 Juni 2020   05:40 Diperbarui: 4 Juni 2020   18:36 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru baru ini saya posting sebuah foto di akun Instagram saya. Pakaian yang saya kenakan adalah pakaian adat Bugis. Pakaian tersebut boleh dikenakan bilamana tuan-puan berkunjung ke pusat kebudayaan dan Rumah Adat Bugis di kota Makasar. Bila ada kelebihan rezeki, ada kesempatan dan niat hati melancong menghibur diri, sekali kali datanglah kesana, lihat pula baiknya kehidupan disana.

Tibalah saya di kota ini sekitar 2017 lalu.  Negeri Ujung Pandang-Celebes di ujung selatan Pulau Sulawesi.  Disini pula saya berjumpa dengan kolega dan sahabat saya sesama Taruna bela negara di Cijantung dan Situ lembang,  6 tahun lalu, sebagai anggota Resimen Mahasiswa pula di Kampusnya.

Oleh sebab itu, dapatlah kesempatan saya mengenakan pakaian adat Bugis ini, gagah saya rasanya. Macam Sultan Alaudin wibawanya, Raja Bugis nan terkenal arif bijaksana, juga pahlawan nasional yang nama besarnya di abadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri di kota Makassar ini.

Terkenanglah,  bahwa pakaian yang dikenakan ini ada pula sangkut pautnya dengan sosok Zainuddin,  tokoh utama, dalam novel melayu klasik karangan ulama besar dari Minangkabau Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. 

Novel itu berjudul "Tenggelamnya kapal Van Der Wijck", ditulis pada tahun seisuk 1939 di Kota Medan. Tak berkesudahan,  berulang kali saya membacanya, meski sudah ada pula Filmnya, namun sensasi gubahan sastrawan dan bangsawan ini tentulah berbeda.

Serasa hidup lagi Zainuddin saya pandangi. Dalam hati saya berujar,  "Malangnya nasibmu bang,  di Tanah kelahiranmu sendiri Makasar kau dianggap asing bukan orang bugis. Di negeri bapakmu Batipuh,  kau-pun terbuang karena tak bersuku." Meski hanya tokoh fiksi, sosok Zainuddin saya kira benar adanya, anak tak dapat suku, sehingga tak jelas darah keturunan dalam kekerabatan yang bersilang. 

Semalang itu nasib si bujang, bila bapaknya tak beristrikan wanita berdarah Minang, sebab secara adat laki laki tak mewarisi suku dalam sistim matrilineal.  Sehingga hidupnya bagai layang layang putus, tak tentu arah,  terhempas kian kemari, tak ada tempat berpijak, belum kenal jati diri.

Begitulah negeri ayahnya Minangkabau, ranah nan elok dalam bayangan, Zainuddin pulang ke Minang ingin mencari tau sangkut paut darah dan keturunan bapaknya yang larut dan menjemput ajal di perantauan. Lewat kerabat, sanak sepersukuan bapaknya itulah ia berharap dianggap menjadi bagian keluarga yang sejak lama tak pulang, namun bukan pengakuan yang didapatkan, humpatan malah yang datang. "Zainuddin indak bersuku,  dia bukan urang awak".  Semakin jauh Makasar ia bayangkan, lama Zainuddin di rundung duka kecewa antara bertahan atau kembali ke tanah Makasar.

Kesudahannya, dicoba pula jalan yang lain. Dalam perjalan, lama ia pandangi sosok nan elok rupawan,  Zainuddin pun terpaut hatinya pada gadis yang ditemuinya disana. Seakan menjadi harapan kebangkitan terlepas dari persoalan bertubi tubi, iapun jatuh hati setelah menemukan Hayati, gadis Batipuh, dari keluarga nan beradat,  berlembaga,  berketurunan, tulen Minangkabau.

Rupanya Zainuddin salah pula memilih jalan, di ranah ini tak semudah dan seindah di belahan bumi lain dalam menjalin roman, yang akhirnya tak berkesampaian, ikatan itupun diharam-haramkan, di pisahkan oleh beringasnya kebangsawanan kaum ninik mamak, dan ketinggian harta. Demikian  Zainudin kembali larut dalam derita nestapa, nasib tak memihak padanya, naungan cinta tulus dua insan manusia ini dipisahkan oleh ninik mamak nan berkuasa. 

Cinta Zainuddin untuk Hayati tersimpan,  bahkan menjadi dendam, kasih yang tak berkesudahan di kenang siang dan malam. Ada jalan bertemu, sebegitu pula jalan memisahkan. Berakhir dalam bayang-bayang, tenggelamlah cinta Hayati bersama karamnya biduk cinta Zainuddin yang tak mau makan sisa orang lain. Sejatinya cinta mereka sama besarnya, namun tak pernah sampai hingga akhir hayat, ulah kungkungan adat pusaka usang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun