Berkali-kali saya harus meyakinkan istri saya, bahwa kepergiaan saya ke ibukota cukup dengan dua lembar tiket KA ekonomi, ya sekali lagi ekonomi seharga 2 x 55.000,-. Itu saja sudah lebih dari cukup. Pesan wanita cantik yang sudah 17 tahun mendampingi saya ini, Â agar saya menggunakan taksi ketika di Jakarta, hampir pasti akan saya langgar. Saya lebih sreg naik busway, mikrolet atau ojek.
Perjalanan tanggal 25-26 April depan ke Jakarta untuk bertemu sahabat-sahabat, para pejuang, guru-guru TIK/KKPI yang sabar, ikhlas dan rela berkorban, yang tergabung dalam AGTIKKNAS, memang bukan perjalanan wisata. Ini adalah perjuangan, mengembalikan mapel TIK/KKPI dalam struktur Kurikulum 2013 adalah misi dari perjalanan ini. Saya tidak sedang berbahagia, tak juga sedang bersenang-senang, tak pula sedang berfoya-foya. Kini, hati saya memang sedang bersedih, membayangkan seperti apa anak-anak kita di masa depan, tanpa dibekali TIK di sekolah. Â Bagi saya belum saatnya menggunakan KA Eksekutif, pesawat yang mahal, atau taksi, yang sebenarnya bisa dengan mudah saya beli. Bermewahan adalah pantangan saya saat ini. Menggunakan tiket KA eksekutif atau pesawat memang nyaman dan cepat, namun membuat saya takut.
Bukan takut jatuh jika memakai pesawat, bukan takut ngeri selip jika memakai kereta cepat. Namun satu yang saya takutkan adalah kemurnian niat saya berjuang ini akan tereduksi dengan kemewahan dan kenyamanan. Bagi orang yang masih labil seperti saya, rasanya rentan tergelincir hanya dengan kemewahan-kemewahan kecil seperti itu. Niat saya yang murni ini, menurut hemat saya, akan lebih terjaga jika dalam mewujudkannya tidak dilingkupi dengan kemewahan dan kenyamanan. Bukankah pada dasarnya manusia tahan godaan ketika susah, namun rawan tergelincir ketika sedang nikmat?
Seperti yang tertera di tiket, stasiun Pasar Senen (PSE) adalah destinasi saya. Jujur, inilah pertama kalinya saya akan ke Ibukota setelah 42 tahun aku menghirup udara di dunia ini. Saya juga buta mana itu PSE, lalu mana itu Kantor Kemdikbud, tempat acara seminar AGTIKKNAS. Pendek kata saya gak tahu lor kidulnya Jakarta. Tapi niat ini sudah bulat, Jakarta aku datang. Perjuangan dimulai, sekali layar terkembang pantang surut kembali. Bravo guru AGTIKNAS, aku datang!