Mohon tunggu...
Wawan Purwandi
Wawan Purwandi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Sesat Pikir Mengukur Dampak Dana Desa

24 Oktober 2017   01:32 Diperbarui: 24 Oktober 2017   02:45 4067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membangun Indonesia dari Pinggiran merupakan salah satu komitmen utama dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Komitmen tersebut tertuang sebagai salah satu 9 agenda besar (Nawa Cita) yang akan diwujudkan duet pemimpin tersebut dalam lima tahun masa jabatan mereka. 

Salah satu implementasi dari komitmen pembangunan dari pinggiran tersebut adalah peningkatan alokasi dana desa dari tahun ke tahun. Tercatat di 2015, pemerintahan Jokowi-JK mengalokasikan anggaran sebesar Rp20 triliun, tahun 2016 Rp40 triliun, dan tahun ini Rp60 triliun. Rencananya tahun depan, alokasi dana desa juga akan dianggarkan sebesar Rp60 triliun. 

Sebagian kalangan memandang positif kebijakan tersebut, namun tak sedikit yang memandang langkah tersebut sebagai langkah kurang produktif. Perdebatan di ruang publik terkait dampak positif dan negatif kebijakan tersebut sah-sah saja dilakukan. Hanya saja agak mengherankan jika ada jajaran kabinet kerja yang mengumbar pesimisme efektivitas dana desa di ruang publik.

Beberapa pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani (SMI) yang secara terbuka menyebut belum ada dampak signifikan dana desa terhadap upaya penurunan kemiskinan (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3689926/dana-desa-capai-puluhan-triliun-sri-mulyani-hasilnya-belum-maksimal) atau sikap dia yang meragukan kesiapan aparat desa dalam mengelola desa (http://nasional.kompas.com/read/2017/09/14/16215961/sri-mulyani-banyak-kepala-desa-tak-siap-dapat-uang-miliaran) misalnya memicu pertanyaan publik seberapa serius pemerintahan Jokowi-JK bahu membahu berupaya membangun desa.

Memang jika dilihat dari besaran dana desa, uang triliunan rupiah yang dikucurkan ke setiap desa per tahun bukan angka kecil. Rata-rata setiap desa di Indonesia yang kurang lebih berjumlah 74.958 mendapatkan kucuran dana Rp600.000.000 hingga Rp800.000.000 per tahun hanya dari APBN. Jika ditambah dengan dana yang dikucurkan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten bisa jadi setiap desa menerima dana lebih dari Rp1 miliar per tahun.

Tetapi tentu tidak fair jika hanya atas dasar besaran dana yang dikucurkan, lalu mengharapkan hasil instan berupa penurunan angka kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan warga desa secara signifikan dalam waktu sekejap.

Alokasi dana desa merupakan salah satu amanat utama UU Nomor 6/2014 tentang Desa. Dalam Pasal 72 ayat 1 UU Desa ditegaskan mengenai sumber pendapatan desa.  Dalam huruf d. disebutkan "alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota". Selanjutnya dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan "Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus".

Penegasan adanya alokasi dana desa merupakan bagian dari perubahan cara pandang negara dalam mengelola pembangunan di kawasan perdesaan. Jika sebelumnya desa hanya dipandang sebagai objek, kini desa dipandang sebagai entintas memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri secara mandiri. 

Perubahan cara pandang dengan mengakui kewenangan desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas merupakan antitesa dari cara pandang di masa lalu yang mengharuskan desa harus menuruti apapun program pembangunan dari pusat. 

Di saat itu Pemerintah Desa (Pemdes) tidak memiliki kewenangan apapun dalam mengelola pembangunan di wilayah mereka. Mereka harus menerima program pengemukkan kambing misalnya meskipun daerah mereka kawasan nelayan. Mereka pun tidak berdaya harus menerima program swasembada beras dengan menanam padi meskipun daerah mereka lebih cocok ditanami jagung. 

Kondisi ini terjadi belasan bahkan puluhan tahun. Aparatur desa pun terbiasa untuk tidak berpikir kreatif dalam merumuskan program pembangunan untuk memajukan wilayah mereka. Jika saat ini ada gugatan atas kesiapan mereka agar berpikir layaknya para "menteri" dalam menyusun program kerja dan mengelola keuangan desa tentu hal itu kurang bijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun